Saturday, January 31, 2015

Maria dan Martin






M A R I A
Leichten Herzens


"Pace, Mace, sa tra mo! Sa takut. Kata wanita-wanita di sana, itu sangat sakit, Pace, Mace!"

Maria berteriak. Ia menangis sambil berlari menuju tepi laut. Sedang mulutnya tetap mengunyah sirih yang sudah halus sedari tadi.

"Sa mo temui Martin. Sa mo bercerita. Pace, Mace, tra mau menolong sa. Martin pasti ada di laut itu."

Rok jerami yang dipakainya ikut berlarian ke sana ke mari, layaknya pikiran Maria.

Keputusan untuk menikahkannya memang baru diketahui Maria beberapa saat yang lalu. Maria pergi menemui saudara kembarnya, Martin. Ia tak tahu lagi harus mengatakannya pada siapa. Pace dan Mace-nya hanya bisa menganggukkan kepala, tanda patuh terhadap adat yang telah ditetapkan nenek moyang terdahulu.

"Kaka," Maria memanggil Martin sambil terisak, "sa akan menikah. Sa takut. Kaka, bantu sa."

Ia membayangkan tubuh para lelaki itu. Sekali lagi, sungguh tak sanggup. Upacara pernikahan suku 'Marind-Anim' sudah tentu harus dijalaninya. Sudah menjadi hukum adat, setiap wanita yang akan menikah, terlebih dahulu harus dikawin oleh sepuluh orang pria. Upacara ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan wanita. Jika Maria menikah, ia akan tinggal serumah dengan keluarga prianya, yang dihuni beberapa kepala keluarga.

"Kaka, sa tra mo! Bantu sa, Kaka!"

Benar, tak ada kalimat lain lagi selain itu. Itu dan hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Terlalu banyak bahasa yang tak mampu ia bahasakan. Baginya, air mata bukan lagi bercerita tentang kesedihan. Lebih dari itu. Ia menjelma jadi sebuah ucapan selamat atas hal yang Maria takutkan. Ditatapnya wajah langit. Biru. Rupanya ia t'lah lupa kalau langit itu akan tetap biru, walau pada kenyataannya langit tak hanya memiliki warna biru.

Ia hanya perlu menangis, semampunya. Bukankah hanya itu yang bisa ia lakukan?

Berulang kali hal itu dikatakannya pada Martin. Martin hanya melirik ikan-ikan yang menggelepar di atas pasir. Adakah jiwanya berkecamuk? Ia hanya sedikit berujar.

Benarkah hanya itu yang Martin ucapkan? Menyaratkan Maria untuk menunggunya di sebuah bukit. Di sanakah keajaiban itu akan terjadi? Rupanya Maria tak semahir itu untuk menerka isi kepala Martin.

Tetapi, lihatlah! Mata Maria terlihat menyimpan selembar harapan. Mungkin harapan itu hanya seukuran daun kelor, atau lebih kecil lagi. Entah!

Selangkah, dua langkah, ia pergi ke sebuah bukit. Dipandanginya lagi Martin, yang berjalan dengan memegang tombak. Entah apa yang akan dilakukan Martin nanti, itu membuatnya sedikit menyunggingkan senyuman.

Kini, pandangannya tertuju pada lautan yang berombak damai. Segerombolan ikan bercahaya begitu pandai mengalihkan pandangannya. Mereka saling berkejaran. Berlabuh di satu titik. Seperti mendekap suatu benda. Entah.

Ingatannya kembali melesat pada sebuah nama, Martin. Apakah ia akan membiarkan selaput daranya bernasib sama, seperti saudara-saudara wanitanya yang lain?


LH, 18 Januari 2015

==========================================

M A R T I N
Aris Rahman Purnama Putra


Gerombolan ikan-ikan itu terus berenang. Bersembunyi di antara koral dan karang. Dengan mata bak elang yang menerawang mangsa dalam remang, Martin kemudian menghunjamkan tombaknya—membelah air—hingga ujungnya yang begitu runcing menembus tubuh ikan kecil itu. Dalam sekejap saja, ia telah berhasil membuat puluhan ikan menggelepar. Begitu mudah dan sangat mudah seperti biasanya.

Namun ada satu hal yang selalu membuatnya penasaran setiap kali ia berburu: Mengapa ikan-ikan itu selalu bergerombol di karang ini? Apakah saudara-saudara mereka yang lain tak pernah mengabarkan perihal kematian yang dialami oleh ribuan saudara-saudara mereka di tempat ini?

Tidakkah lebih baik mereka berlari sejauh mungkin? Berenang menuju samudera yang lebih luas sehingga mereka akan selamat dari tombak-tombak yang siap merenggut nyawa mereka. Tidakkah dunia ini begitu luas sehingga sayang sekali untuk dihabiskan hanya untuk sekadar berputar-putar di sekitar karang seperti laron yang terus berputar-putar di lentera hingga ajal menghajar?

Kini, Martin membayangkan dirinya seperti ikan kecil yang tak berdaya dan hanya terus berputar-putar hingga akhirnya menggelepar.

"Kaka," Maria memanggil Martin sambil terisak. "Sa akan menikah. Sa takut. Kaka, bantu sa."

Teriakan itu memecah lamunannya. Dilihatnya wajah Maria, begitu muram dinaungi awan kesedihan. Kemudian Martin memeluknya.

"Kaka, sa tra mo! Bantu sa, Kaka!"

Martin hanya senyap. Hatinya kalap. Sudah lama ia menanggung benci terhadap para tetua. Kini, api dendam itu semakin berkobar dalam hatinya, seperti hendak melahap. Betapa mata adik yang begitu dicintainya kini sembap.

Beberapa bulan yang lalu, banyak saudara wanitanya mati mendadak dengan selangkangan bengkak. Menurut salah seorang antropolog yang pernah berkunjung ke kampungnya; kematian itu disebabkan oleh penyakit kelamin akibat ritual yang mereka lakukan. Berkali-kali ia mengingatkan hal tersebut kepada para tetua tapi tidak pernah digubris.

Mungkin dema akan memurkainya karena telah menentang adat. Namun ia tak akan membiarkan adik kesayangannya akan mati mengenaskan.

Ia mengangguk kemudian menjawab pertanyaan adiknya.

“Sudah, hapus ko pu air mata! Cepat larilah ka bukit! Tunggu kaka di sana, nanti ko akan kususul.”

Martin kembali memandang ikan-ikan yang menggelepar, tombak yang tergeletak di sampingnya segera ia sambar.

***

Tak banyak kata-kata yang mengucur dari mulutnya. Karena baginya, kata-kata tak akan banyak mengubah apa-apa. Ia menombak semua tetua yang ditemuinya, membabi buta. Darah muncrat, tombaknya terus menarikan tarian kematian diiringi mantra-mantra laknat. Darahnya mendidih hebat. Tak pernah dirasakan adrenalinnya begitu bergejolak seperti ini. Satu, dua, tiga. Para tetua itu mulai berjatuhan seperti ikan-ikan yang sekarat. Martin tak merasa dirinya kini menjelma sebagai keparat, justru sebaliknya; ia merasa seperti seorang juru selamat.

Semua penduduk terlihat begitu marah, mereka segera masuk honai mengambil tombak dan panah. Puluhan anak panah dan tombak itu kemudian melesat menerjang tubuhnya. Langkahnya gontai, matanya semakin gelap hingga tubuh lemasnya jatuh dengan puluhan tombak dan anak panah yang menancap.

Semua penduduk kemudian membawa jasadnya. Melemparkannya ke lautan hingga ikan-ikan bercahaya itu segera muncul ke permukaan, menangkap jasad yang tak berdaya itu. Para penduduk heran.

“Itu dema?”

Ikan-ikan itu mendekap jasadnya. Mengantarkannya menuju samudra lepas yang begitu luas, bersama ombak yang mengempas.


Surabaya, 18 Januari 2015

*Glosarium dan Rujukan:
Van Baal artikan dema itu sebagai beings yang hidup pada jaman mitis, biasanya mengambil rupa manusia, kadang-kadang juga dalam rupa satwa yang menjadi leluhur klen dan subklen, diasosiasikan dengan totem, dan seringkali juga pencipta totem (van Baal, Dema, 179)

Mengenai data penduduk yang berasal dari J. Van Baal (1966) dan J.C.B Koopmans (1954) menunjuk tahun-tahun 1953 dengan jumlah masing-masing : 8734 jiwa, 8631 jiwa, 7333 iwa dan 7618 jiwa. Dalam tiga periode yan disebut pertama jumlah orang Marind-Anim tampak semakin menurun, tetapi periode data tahun 1953 tampak meningkat dibandingkan tahun 1948. Gejala penurunan jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kesehatan dan penyakit. Wabah penyakit yang sering berjangkit, menyebabkan angka kematian yang tinggi. Termasuk penyakit kelamin yang dibawa oleh pemburu burung cendrawasih, dan para militer yang sampai kepedalaman. Penyakit kelamin berkembang dengan cepat karena adanya upacara seksual.
Dalam peristiwa perkawinan suku Marind-Anim, biasanya calon pengantin perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat sebelum diserahkan kepada calon suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur (Overweel, 1993:15)

Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang (wikipedia)
http://basyarul-aziz-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-95860-Analisis%20Kajian%20Penulisan%20Etnografi-Kajian%20positivistik%20Suku%20Bangsa%20Marind%20Anim.html
http://www.academia.edu/8377690/SIFILIS_STADIUM_I_Fatimah_Syakirah
http://suku-dunia.blogspot.com/2014/12/sejarah-suku-marind-anim.html

Sa: saya
De: dia
Tra/tara: tidak
Mo: mau
Mace: Mama
Pace: Ayah
Pu: punya
Ka: ke

Terinspirasi dari FF; ChocoVanila - Elegi Kesunyian

Friday, January 30, 2015

11 Cerita dalam Sekotak Paradoks






PESTA KEMBANG API.
Langit bocor, bidadari ramai berjatuhan menuju Bumi.

LARIS MANIS.
Berjualan payung di Padang Mahsyar, pedagang itu mendapat keuntungan yang besar.

MULUTMU HARIMAUMU.
Sudah lama tak menggosip, harimau itu merasa kelaparan dan menelan bulat-bulat kepalanya.

AKHIR ZAMAN.
Manusia ramai-ramai menghina Tuhan. Hingga kemudian Tuhan menjatuhkan sebutir debu. Semesta meledak dan kemudian senyap.

BUAYA BERISIK.
Aku mengambil sebilah pisau lalu memotong lidahnya sebagai pengganti shampoo.

PROMO TAHUN BARU.
Dijual: Hati bekas beserta satu set kenangan di dalamnya.

HEADLINE.
Puluhan debtcollector masih mengejarnya di alam barzah. Ia memutuskan untuk bunuh diri lagi.

TINGGI HATI.
Wanita itu mendadak kejang-kejang, kabarnya dia memiliki phobia ketinggian.

WISUDA.
4 tahun sukses menjadi mayat. Ia kini dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude dan memutuskan untuk hidup lagi.

PERCOBAAN LABORATORIUM.
Melihat air dan minyak yang tidak bisa bersatu. Dia sedih teringat masa lalu. Dulu jasadnya tidak dapat menyatu dengan tanah, hingga akhirnya sanak saudaranya memotong-motong tubuhnya dan menjualnya ke sebuah restoran.

RACUN SERANGGA.
Cemas menunggu hari akhir, kepalanya pening digerogoti oleh belatung yang ada di dalam tanah.

Hingga akhirnya dia memutuskan untuk meminum racun serangga.

"Ah lega...," pikirnya melihat belatung itu telah menghilang.

Sekejap kemudian belatung itu muncul kembali dan mulai menggerogoti habis tubuhnya.

Bulan Madu Pertama



Di dunia ini, tak ada sesuatu kenikmatan yang paling nikmat selain menghirup sejuknya udara pegunungan. Dengan siraman cahaya bulan yang berpadu dengan penerangan seadanya dari kunang-kunang yang beterbangan, juga nyanyian dari jangkrik yang terus mengerik menambah hikmat sunyinya suasana malam. Pepohonan yang berjajar rapi, seolah memberi namaskara kepada setiap sujana yang melintas di depannya.

Sedang dua pasangan itu tetap membeku, saling bertatapan di balik semak belukar yang menjalar. Mata mereka saling menyelisik tubuh satu sama lain penuh dengan berahi. Wajah sang wanita terus saja memancarkan kegairahan yang tak terkira. Maklum saja, meskipun pernikahan mereka sudah berjalan selama dua tahun, sangat jarang sekali bagi mereka berdua untuk dapat menghabiskan waktu bersama layaknya seorang pengantin pada umumnya.

Terakhir kali wanita tersebut meminta kepada sang pria untuk melakukan hubungan suami-istri. wanita itu malah mendapat hadiah sebuah tendangan dan sebuah pukulan yang mendarat telak di perutnya.

“Bodoh!!! Siapa yang mau bercinta dengan wanita cacat sepertimu?” lalu beberapa pukulan menghunjam tanpa ampun.

Namun siapa yang menyangka kalau kini pria tersebut telah berubah pikiran?,

Wanita tersebut sangat telaten melepaskan helai per helai pakaian yang dikenakan oleh suaminya. Akhirnya apa yang selama ini diidam-idamkannya bisa terwujud, yaitu bisa melayani suaminya dengan baik.

Senyum mengembang jelas dari wajah sang pria. Maka tanpa ragu, sang wanita juga melepaskan setiap helai pakaian yang menempel di tubuhnya. Detik ini, ia tak akan pernah takut lagi mendapat sebuah tamparan atau pukulan dari suaminya. Suaminya akan selalu bersedia melayani ketika ia membutuhkan nafkah secara lahir dan batin. Tidak akan ada lagi komentar yang meluncur dari mulut sang suami perihal kecacatan tubuh dari sang wanita.

Selama dua tahun penantian, akhirnya semesta menghadirkan malam yang selama ini dinanti-nantikan oleh wanita tersebut. Maka gunung yang menjulang, semak belukar yang menjalar, dan apa saja yang berada di sekelilingnya menjadi saksi dua sejoli itu memadu kasih. Bulan madu yang sedikit terlambatm namun sama sekali tidak mengurangi kenikmatannya.

Tubuh sang pria perlahan terasa dingin. Mengetahui hal itu wanita tersebut berusaha menghangatkan tubuh sang suami dengan segala cara.

“Ah, dasar lelaki lemah” wanita tersebut tersenyum kecut.

Dan di tengah pekatnya malam, wanita tersebut terus mencoba menghangatkan tubuh suaminya yang semakin membeku. Dengan gairah yang membuncah, wanita tersebut terus menikmati kebahagiaan malam, bersama jasad dengan kepala yang hampir terlepas dari tubuhnya.

Sepasang Mata dalam Sunyi



Kota ini benar-benar terasa sunyi. Bahkan dedaunan yang jatuh sama sekali tidak sanggup mengusik kesunyiannya. Peluh yang jatuh terdengar jelas menggema di setiap sudutnya. Hening. Tiada apa pun di dunia ini yang sanggup mengalahkan keheningannya.

Maka tak heran orang-orang menyebut kota ini dengan sebutan Kota Sunyi. Kota di mana kekejaman dan kekelaman berbaur membentuk sebuah awan hitam yang menghiasi setiap inci langitnya. Setiap manusia yang tinggal di kota ini seperti telah kehilangan jiwanya, hanya sebuah raga kosong yang berjalan dengan terus meratapi pedihnya kehidupan.

Terdengar tangisan di sepanjang jalan namun tidak pernah ada satu bulir air mata pun yang dapat menetes. Mereka telah melakukan segala cara agar air mata tersebut dapat menetes untuk sekadar membasahi tanah kota mereka yang gersang, atau juga untuk membasahi pipi mereka yang kerontang. Tapi tidak setetes air mata pun berhasil keluar, hanya rintihan yang terus terdengar menambah kesenduan Kota Sunyi ini.

Seekor gagak hitam yang terbang di langit kota ini, bahkan merasa iba untuk sekadar mampir dan mencicipi daging dari jasad yang bergeletakan di atas hamparan tanahnya yang gersang. Nampaknya Tuhan berniat untuk menghapus keberadaan kota ini dari daftar ciptaan-Nya.

***

Hentakkan beberapa langkah kaki terdengar nyaring, dari lantai bawah, perlahan naik melalui anak tangga, lalu makin terasa dekat menuju tempat persembunyian mereka berdua.

“Sepertinya malaikat maut telah bersiap untuk menagih nyawa yang dipinjamkan Tuhan kepada kita.” Tangan Valtea terus menggenggam erat tangan kekasihnya—Ares. Seakan-akan tak mengizinkan malaikat maut untuk memisahkan keintiman mereka berdua.

“Tuhan tak akan membiarkan kita berpisah begitu saja.” Lalu dipeluknya tubuh Valtea yang sudah beberapa hari ini terasa menggigil.

Beredar kabar, bahwa pasukan rahasia yang membantai ribuan warga Kota Sunyi adalah pasukan yang ditugaskan oleh seseorang yang berkuasa di kota ini. Dua hari yang lalu, Sang Penguasa melakukan perjanjian dengan Kota Asing perihal penjualan segala aset kota berupa tambang minyak. Hal ini menyebabkan Kota Sunyi tak dapat lagi menghasilkan minyak sendiri sehingga harus membelinya dari Kota Lain. Karena itulah Sang Penguasa memutuskan untuk membebankan semuanya kepada warga dengan cara menaikan harga minyak.

Ribuan gelombang penolakan muncul di segala penjuru kota. Hingga akhirnya memaksa Sang Penguasa untuk menenangkan gejolak dengan menugaskan pasukan rahasia. Pasukan itu membantai dengan keji setiap warga yang memprotes kebijakannya. Ribuan warga kehilangan nyawa begitu saja. Sedang yang masih hidup, keesokan harinya setelah bangun tidur, kelopak mata mereka telah hilang secara misterius.

Kini, tibalah giliran kedua pasangan tersebut untuk merasakan kekejian dari malaikat pencabut nyawa .
Dengan tangan yang masih merekat, juga dengan cinta yang tak pernah berkarat. Bibir mereka tak henti mengucapkan doa pada Tuhan.

Perlahan permukaan pisau yang dingin mulai menyentuh mata mereka yang biru itu. Sisi tajamnya menari-nari di atasnya, hingga cairan merah kental menyiprat. Namun perasaan cinta yang besar telah membuat semuanya menjadi tidak terasa.

Hingga akhirnya segalanya berubah menjadi putih.

Meski mata mereka berdua tak lagi dapat melihat apa pun. Di benak mereka, masih terpahat jelas setiap lekuk keindahan wajah satu sama lain. Kau tahu? Dari kelopak matanya yang jatuh menggelinding, keluar cairan bening yang menetes-netes ke tanah. 

Seperti sepasang mata yang sedang menangis...

Jalan Asu




“Jangan sekali-kali pergi ke sana!”

“Memangnya kenapa, Bu?”

“Di sana banyak asu! Kamu mau digigit asu?”

Masih kuingat betul nasehat ibu, bahwa aku tidak boleh berjalan-jalan di daerah dekat taman, katanya di sana banyak asu-asu liar yang berkeliaran. Maka sejak itulah aku lebih suka menyebut jalan itu sebagai Jalan Asu. Aku membayangkan di sepanjang jalannya akan menemui asu-asu jongkok berderet, mengaing-ngaing sahut-menyahut, berak dan kencing di sembarang tempat. Di temboknya akan terlihat tulisan: ‘Hanya asu yang kencing di sini!’

Huekkk…! 

Asu-asu itu memang jorok, kotor, menjijikkan, bikin mual, pengen muntah.

Apalagi bulan ini merupakan musim kawin bagi kaum asu. Aku pernah lihat di televisi, kalau asu yang sedang berahi akan lebih ganas, jika kauganggu, mereka tak akan segan-segan menggigitmu, melumat kakimu serupa lollipop aneka rasa.

Krenyesss… Krenyesss… Krenyesss. 

Suatu hari aku pernah bertanya; seperti apakah Jalan Asu itu? Di sana hanya taman sepi dengan semak belukar yang menjalar tak terurus, sedang jalanannya lengang tak dilewati seorang pun, jawab temanku. Mungkin karena sepi dan dipenuhi semak belukar itulah, akhirnya para asu memutuskan untuk menjadikannya sebagai tempat tinggal.

Ah, aku begitu penasaran, meskipun aku menghormati nasehat ibu, tapi tetap saja aku ingin ke sana untuk melihat yang sebenarnya.

Tanpa sepengetahuan ibu, aku pergi ke sana. Waktu itu jalanan begitu lengang, taman juga sepi, tak ada asu. Yang ada hanyalah sebuah mobil terparkir di sebelahnya, mobil itu terlihat berguncang-guncang. Aku menghampirinya, melihat dari balik kaca:

Sepasang asu sedang berahi, pikirku.

“Ibu?”

“Gukkk… Gukkk… Gukkk ,” jawab ibu yang berarti aku akan punya ayah kedua.


*251 Kata
Terinspirasi dari cerpen Jalan Asu - Joko Pinurbo
http://mondayflashfiction.blogspot.com/
Happy Birthday Monday Flash Fiction :D

Sunday, January 11, 2015

Fanfiction - Senja dalam Secangkir Cokelat Hangat (Aldnoah Zero)






Sunyi. Memanglah baginya dunia ini terasa begitu sunyi. Waktu-waktu berlalu hanya sekadar lewat tanpa meninggalkan bekas apa pun. Hanya sejenak berhenti lalu berderak kembali menuju kehampaan. Tak ada sedikit pun kenangan, entah kebahagiaan ataupun kedukaan. Baginya, setiap kenangan-kenangan itu hanyalah seperti goresan di atas pasir pantai, menjejak sejenak lalu lenyap terhapus ombak.  Begitulah ia memahami setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya dulu. Tenggelam dalam kesunyian yang begitu hikmat. Tapi sekarang hidupnya sudah jauh berbeda, semenjak dia bertemu dengan kekasihnya, seakan-akan ia memiliki alasan untuk hidup bahkan seribu tahun lagi.

Ia masih begitu setia menunggu, entah sampai berapa lama ia sanggup menunggu, seakan-akan memang Tuhan telah menciptakan ia sebagai seorang lelaki yang senantiasa akan menunggu. Dan bukankah memang hakikat hidup adalah tentang menunggu? Menunggu sembari menuntaskan tugas yang telah dituliskan Tuhan  dalam menjalani kehidupan, hingga akhirnya raga akan dikembalikan dalam sebuah titik ketiadaan.

Menunggu, menunggu, menunggu.

Entah sampai berapa lama lelaki itu sanggup menunggu, menunggu sesuatu yang entah apakah memang benar-benar layak untuk ditunggu. Bahkan perlahan dirasakannya kalau tubuhnya mulai membatu, dari mulai ujung jari kaki, menjalar semakin cepat seperti sebuah listrik yang menyengat, lalu merambat ke atas hingga kini tubuhnya makin memadat.

Menunggu, menunggu, menunggu.

Lelaki itu tak benar-benar peduli dengan dirinya, meskipun banyak orang berkisah bahwa banyak orang akan menjadi patung dalam proses penantiannya. Tapi ia sangat yakin tentang apa yang dilakukannya, bahkan ketika ia benar-benar akan menjadi patung sekali pun, maka rasa cinta terhadap kekasihnya akan meleburkan semuanya, seperti hangatnya matahari yang mencairkan es yang padat. Ya, kekasihnya telah menyelamatkan hidupnya. Maka lelaki itu akan melakukan apa pun untuknya.
Pada suatu masa, ia pernah berjanji kepada kekasihnya, bahwa ia akan memetik sebuah senja, menjadikannya serupa bola-bola gula, dibelah senja itu menjadi dua bagian: satu bagian akan disimpan, sedang bagian yang lain dicampurkannya ke dalam secangkir cokelat hangat dan akan diberikan kepada kekasihnya. Senja  itu akan menyatu dalam tubuh, mengalir bersama setiap kepingan sel-sel darah, melintasi organ-organ yang terjelaskan dalam buku biologi. Senja itulah yang akan terus menjaga dan menghangatkan tubuh kekasihnya ketika ia sedang tidak berada di sampingnya.

"Semoga kau senantiasa dapat merasakan kehangatannya dalam tubuhmu," batinnya.

Angin dingin mulai berembus menerpa wajahnya, membuat rambut yang berwarna abu-abu berkibar-kibar seperti dedaunan yang tertiup angin. Lelaki yang bernama Slaine tersebut masih menunggu sang kekasih di sebuah kafe dekat dermaga. Setiap ia mendengar bunyi peluit atau melihat cahaya di antara kabut, maka seketika dia akan berdiri dan memandang lautan, berharap-harap bahwa itu adalah kapal yang dinaiki oleh kekasihnya. Tapi sudah begitu lama ia menanti, sekelilingnya perlahan mulai berganti, puluhan kapal telah berlabuh, tapi tak satu kapal pun yang membawa kekasihnya, lebih sering kapal-kapal itu merupakan kapal nelayan penangkap ikan. Angin itu kembali bertiup dengan membawa gumpalan-gumpalan putih yang lembut. Hawa dingin makin membuat tubuhnya terasa kaku. 

“Apakah aku akan benar-benar menjadi patung salju?”

Dalam keremangan yang begitu remang, juga dengan gumpalan salju yang begitu lembut dan dingin. Ingatannya kembali kepada saat-saat ia pertama kali bertemu dengan kekasihnya.

***

Di tengah badai salju yang begitu ekstrim, Slaine dan ayahnya berniat melakukan penerbangan menuju Planet Vers. Menurut ayahnya—Profesor Troyard. Di dunia ini, ada sebuah  dunia selain Bumi yang begitu mengagumkan, dengan peradaban yang begitu canggih mengalahkan teknologi yang ada di bumi. Ayahnya begitu sering bercerita kepadanya perihal keindahan planet itu sehingga ia kini begitu tertarik dengannya.

“Apakah kau siap, Slaine?” 

“Sudah sampai sejauh ini, Yah. Aku tidak akan mundur…” Slaine masuk ke dalam sebuah pesawat berbentuk kapsul. “Aku juga ingin melihat dunia yang ada di luar sana.” 

Sabuk pengaman telah merekat. Ayahnya menekan beberapa tombol yang ada di pesawat itu hingga kemudian melesat menuju angkasa. Slaine memandang dari jendela, dilihatnya betapa kini dia mulai terbang membelah awan, menembus cakrawala. Berlapis-lapis langit telah dilewatinya, dengan pemandangan yang berbeda-beda disetiap tingkatnya, dari mulai sekawanan burung-burung, gumpalan awan, lalu sampailah dia pada lapisan langit yang paling hampa, begitu hampa dan hanya kehampaan yang terlihat. Di langit kini hanya terlihat batu-batu angkasa melayang-layang di sekitarnya. Tak ada kehidupan. Kosong.

“Kita sudah melewati atmosfir sekarang, Slaine.” 

Ayahnya melepaskan sabuk pengaman yang mengekang, dilihat tubuh sang ayah melayang-layang seperti kapas. 

“Lepaskan saja sabuk pengamanmu, sudah tidak apa-apa.”

Slaine menuruti ayahnya, perlahan mulai dilepaskan sabuk pengaman, lalu dirasakan tubuhnya mulai melayang-layang seperti kapas.  

“Beginikah rasanya kehampaan?” 

Tubuhnya ringan, begitu ringan seperti tak ada  beban yang menahan. Sejak itulah ia mulai mengagumi langit yang begitu sunyi dan hampa. Ia merasa jiwanya begitu bebas di sini, tak merasa dikekang oleh sesuatu apa pun. Kehampaan membuat hatinya merasa begitu tenang, jauh berbeda seperti ketika ia berada di Bumi. Sejauh ia hidup di sana, yang dilihatnya hanyalah sebuah penderitaan dan kepedihan yang tak berkesudahan.

Tiiit… Tiiit… Tiit… 

Sirene pesawat itu berbunyi, dengan lampu merah yang mulai berkedip-kedip menyala. 

“Sial…! pasti mesinnya sedang bermasalah,” rutuk ayahnya. “Kamu cepat kembali ke tempat dudukmu, Slaine! Dan pasang sabuk pengaman!” 

Ayahnya segera bergegas menuju ruang mesin, Slaine hanya menatap bingung. 

“Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Yah?” Suaranya menggema, hanya menggema tapi tak kunjung mendapat jawaban apa pun. Di ruang mesin, ayahnya masih begitu sibuk berusaha memperbaiki  beberapa bagian mesin pesawat yang rusak.   

Pesawat hilang kendali, terjun bebas dan siap menghunjam daratan yang ada di depannya, ayahnya tak kunjung berhasil memperbaiki mesin yang rusak. Slaine hanya pasrah melihat segalanya dari jendela. 

“Apakah aku akan mati?”  

***

Dunia dilihatnya begitu putih, telinganya mendengung hebat, darah semburat di depan matanya. Bau yang begitu harum mulai menyusup ke celah hidungnya, cahaya putih itu terus berpendar begitu terang, seperti cahaya yang menuntunnya menuju surga. 

“Apakah kau tidak apa-apa?” 

Terdengar suara yang begitu lirih, sangat lirih seperti suara angin yang berbisik. Slaine mencoba membangkitkan kesadarannya, ia berusaha membuka matanya yang begitu berat dan meyakinkan diri terhadap apa yang sedang dilihatnya. Wanita itu seperti siluet bermandikan cahaya putih, dengan bau yang sangat harum mengalahkan bau harum bunga apa pun yang ada di Bumi.  

“Apakah kau seorang malaikat atau bidadari?”

“Tidak, aku hanya penduduk biasa.” 

“Jadi, sekarang apakah aku sudah berada di surga?”

“Tidak, kau tidak berada di surga, kau sedang ada di Planet Vers.”  

Wanita itu mencoba sekuat tenaga mengeluarkan tubuh Slaine yang tertimbun reruntuhan pesawat. Hingga kemudian Slaine merasakan bibir yang begitu mengagumkan, bibir itu seperti membelai mesra setiap permukaan bibirnya, dan pada akhirnya bibir itu seperti mendekapnya, menyembuhkan luka nyeri yang dirasakan, melancarkan aliran udara yang terhambat, wanita itu memberikan nafas buatan kepadanya. Hari itu, detik itu, bibir itu, suara yang begitu lirih, dan semua keindahan yang dirasakannya tak akan pernah dilupakan. Sekejap cahaya putih itu berubah menjadi titik hitam, titik hitam yang mulai membesar hingga sempurna gelaplah penglihatannya. Sementara ayahnya, entah kemana, mungkin saja ia menghilang dan lenyap  ditelan kesunyian.   

***

“Apakah kau sudah sadar?” 
Suara lirih itu kembali terdengar, wajahnya yang terlihat kabur perlahan kini mulai jelas. Rambutnya yang pirang terlihat berkilau diterpa cahaya, kulitnya putih sempurna, nafasnya benar-benar begitu harum. Mata Slaine menjelajah ke sekitar, ia melihat dirinya sekarang terbaring di sebuah kamar yang begitu luas dan megah.  
 
“Aku sedang ada di mana?” 
“Di rumahku. Aku menemukanmu tertimbun di antara reruntuhan pesawat.” Wanita itu mencoba menjelaskan. 
“Perkenalkan namaku, Aseylum Vers Allusia. Panggil saja Asseylum.” Terlihat senyum ramah merekah di wajahnya. “Kalau kau sendiri?”
“Aku Slaine, Slaine Troyard.”  Slaine membalas senyuman itu. “Apakah kau melihat ayahku?”
“Tidak, aku tidak menemukan apapun.”

Slaine akhirnya memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Aseylum. Mereka berdua saling bercerita banyak hal, saling berkisah satu sama lain, menghabiskan waktu senantiasa bersama seperti sepasang kupu-kupu yang terbang melintasi taman penuh kebahagiaan.
Di negeri Vers ini, waktu terasa statis. Tak ada fajar, tak ada senja, yang ada hanyalah malam yang begitu kelam temaram.  Tak ada rumput yang hijau, warna-warni bunga, semua hanya berwarna abu-abu, meskipun negeri ini penuh dengan keajaiban, tapi tetap saja negeri ini terasa begitu sendu, sangat amat berbeda dengan Bumi yang begitu berwarna. 
“Jadi Slaine, sebenarnya darimana kau berasal?”
“Mungkin kau pernah mendengar sebuah tempat yang bernama Bumi. Aku berasal dari sana.”
“Aku pernah membacanya dari beberapa buku, bukankah itu planet yang sangat indah, Slaine?” 
“Ya, sebuah planet yang sangat indah.” 
“Maukah kau menceritakannya padaku, Slaine? Katanya langit dan laut di sana berwarna biru?” 

Aseylum memegang tangan Vers dengan memasang wajah penuh rasa ingin tahu. “Aku selalu penasaran dengan hal itu. Apakah air dan udara di Bumi berwarna biru?” 
“Tidak, air dan udara itu tidak berwarna.” Slaine menjelaskan dengan begitu bersemangat. “Namun pada lapisan ketebalan tertentu bisa membuat cahaya yang dipantulkan menyebabkan mereka terlihat berwarna biru.” 
“Air dan udara yang begitu banyak bisa sampai membelokkan cahaya? Aku bahkan tidak bisa membayangkannya, Slaine!” Aseylum pun memeluknya, Slaine merasakan kehangatan yang belum pernah dirasakannya.  
“Aku ingin ke sana, Slaine. Aku ingin pergi ke Bumi bersamamu.”
“Aku mungkin bisa memperbaiki pesawatku dan membawamu ke sana, tapi aku tidak punya bahan bakar.” 
“Kalau begitu gunakanlah aldnoah drive.”
Slaine tercekat, ayahnya memang pernah bercerita tentang sebuah teknologi canggih bernama aldnoah drive yang ada di negeri Vers ini. Tapi menurut cerita ayahnya, untuk mengaktifkannya tidak bisa sembarangan, pengaktifan itu harus dilakukan oleh seseorang dari keturunan kerajaan. Dan kini ia baru menyadari kalau Aseylum adalah seorang putri kerajaan. 
“Baiklah, aku akan segera membuatkannya untukmu.” 
Hari demi hari berlalu, Slaine begitu semangat untuk segera memperbaiki pesawatnya, tidak terlalu susah memang karena peralatan yang tersedia di Vers ini begitu lengkap dan modern. Tentu saja Aseylum juga selalu berada di sampingnya. Pada awalnya pesawat ini hanya terlihat seperti kerangka, lalu perlahan mulai terihat bentuk sesungguhnya dari pesawat itu, dan kini pesawat sudah siap untuk membawa dirinya dan kekasihnya menuju planet impiannya, yaitu Bumi. Pada saat yang bersamaan pula Slaine berusaha keras untuk menemukan ayahnya, dia berkeliling ke setiap penjuru negeri, tapi tak kunjung ada perkembangan yang membahagiakan. Bahkan jika ayahnya telah tiada, ia ingin sekali membawa jasadnya untuk di makamkan di Bumi. Tapi semua nihil.
Slaine akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat meskipun tanpa ayahnya, Aseylum juga telah mendapat izin dari pihak kerajaan. Pesawat itu pun kembali terbang setelah beberapa lama hanya terdiam tak berdaya. Sepanjang perjalanan, Slaine hanya sibuk memandangi wajah kekasihnya yang tubuhnya begitu bercahaya karena aldnoah drive. Tak pernah dibayangkannya hidupnya akan jadi begini, bahkan seumur hidupnya tak pernah terpikirkan kalau dia akan menyukai seorang wanita. Begitulah Tuhan menuliskan takdir indah untuk setiap makhluknya. Dan rasa cinta adalah salah satu mahakaryanya yang paling indah. Apalah jadinya dunia ini jika Tuhan tidak menciptakan rasa cinta? 
Terdengar bunyi sirene pesawat, dengan cahaya merah yang berkedap-kedip.

“Kamu cepat kembali ke tempat dudukmu, Slaine! Dan pasang sabuk pengaman…”

Ingatan itu kembali berkelebat dalam kepalanya, seperti sebuah film hitam putih yang menggambarkan sebuah kedukaan. Bergegas ia menuju ruang mesin sama seperti yang dilakukan oleh ayahnya. 
“Aseylum…! Kamu tetaplah di sini!” 
Aseylum menghampirinya, tangan mereka kembali merekat, dipeluknya tubuh Slaine yang mulai deras berkeringat.
“Aku ingin bersama denganmu lebih lama…” Mata Aseylum menelisik setiap inci tubuh Slaine. Tubuh itu, rambut yang berwarna ke abu-abuan,   semuanya begitu mengagumkan. ”Bersamamu, melihat dunia yang begitu indah itu, laut dan langit yang biru, mendengar suara kelepak sayap burung, mencium bau hujan yang menyegarkan, atau merasakan salju yang begitu lembut lalu meleleh di atas tangan, aku ingin merasakan semuanya bersama denganmu.”
“Aku mencintaimu, dan aku tak ingin berpisah denganmu,” celetuk mereka hampir bersamaan  
Mereka berdua berpelukan sembari mendaratkan sebuah ciuman kepada satu sama lain, bibir mereka beradu, mereka terus berciuman hingga beberapa detik sebelum pesawat itu menyentuh daratan. 

“Apakah kita akan berpisah?”

“Tidak, kita tidak akan berpisah. Tuhan akan selalu mempersatukan kita.”
Pesawat itu meledak. Di angkasa terlihat sebuah cahaya yang begitu memikat, terlihat seperti kembang api dengan warna-warna yang begitu indah. Dalam gemerlap cahaya itu, terlihat siluet sepasang tangan yang saling berpegangan.

***
Slaine mulai lelah menunggu, sedang udara terasa begitu semakin dingin,  ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk memesan minuman kembali untuk menghangatkan tubuhnya. 
“Apakah dia sudah datang, Slaine?” 
“Belum.” 
“Sudah tiga hari kau di sini, apalagi sekarang sedang ada badai salju. Sebaiknya kau segera pulang, Slaine!” 
“Tidak, aku ingin tetap di sini menunggunya.” 
Perlahan matahari mulai surut, cahaya senja dengan mega merahnya terpancar seluas cakrawala, sekawanan burung hilir mudik menuju sangkarnya dengan riuh kelepak sayap yang membahana di angkasa. Dalam segala cerita tentang keindahan Bumi yang diceritakan oleh Slaine kepada Aseylum, ada satu hal yang terlewat. Yaitu senja, betapa mungkin keindahan itu terlewat diceritakan olehnya. Tepat sebelum keberangkatan Aseylum, Slaine pernah berjanji kepadanya untuk bersama melihat senja yang paling indah. Tapi, sampai sekarang ia belum kembali. Slaine membawa dua cangkir cokelat hangat, menunggu dengan harap-harap cemas. 
 
Dari jauh terdengar bunyi gemuruh, asap menyembul dari sebuah pipa dan memenuhi langit, cahaya berkelap-kelip dari balik kabut. Di balik mega merah senja terlihat bayangan sebuah kapal, semula hanya terlihat seperti noktah kecil, lalu makin lama makin membesar hingga terlihat bentuk utuhnya. Kapal itu mendekat dan segera bersandar di dermaga, Slaine kembali bangkit, dilihatnya kapal itu dengan cermat. Kerumunan orang terlihat turun dari dek kapal, Slaine mencoba mendekati kapal itu, berbagai wajah terlihat satu per satu  tapi wajah yang begitu ditunggu-tunggunya tak segera nampak. Tapi sebentar, ternyata di dalam kapal itu masih tersisa satu orang penumpang yang turun, seorang perempuan berambut pirang yang berkilau-kilau diterpa cahaya senja. Bau harum itu segera tercium oleh hidungnya, sensasi harumnya segera membangkitkan berbagai kenangan indah yang selama ini hanya tertimbun begitu lama tapi sama sekali tak membuatnya lapuk. 
“Slaine…” 
“Aseylum…” 
Sepasang kekasih itu berpelukan, saat itu waktu seakan berhenti berdetak, kawanan burung berhenti berkelepak, terdengar bunyi ikan berkecipak namun mereka sama sekali tidak bergerak, di tengah belaian ombak, pasir memainkan alunan melodi serak. Itukah yang namanya cinta? Satu-satunya hal yang dapat membuat inti bumi berhenti berderak. 
“Tidakkah kau lihat senja itu begitu indah, Aseylum?” 
“Ya, begitu indah sama seperti yang pernah kau ceritakan, Slaine.”
Mereka duduk di sebuah meja, dengan dua cangkir cokelat hangat yang terhidang di atasnya, mereka saling bertatapan, lalu berpaling memandang lautan untuk mengagumi keindahan senja, mereka begitu mengagumi senja itu seperti mereka mengagumi satu sama lain.  
“Aku ingin memberimu hadiah, sebuah senja terindah untukmu.” 
Cincin itu berkilatan diterpa sorot senja, ditambatkan cincin itu ke jari manis kekasihnya. 
“Aku mencintaimu dan akan senantiasa begitu,” celetuk mereka hampir bersamaan. 

Guyuran hujan salju terasa membuat badan mereka menggigil. Pancaran senja tak cukup menghangatkan badan mereka, maka secangkir cokelat hangat yang terhidang di atas meja segera mereka minum, rasanya begitu hangat seperti ada sebuah senja di dalamnya. Senja  itu akan menyatu dalam tubuh, mengalir bersama setiap kepingan sel-sel darah, melintasi organ-organ yang terjelaskan dalam buku biologi. Senja itulah yang akan terus menjaga dan menghangatkan tubuh dua kekasih itu. Cokelat hangat yang menghangatkan badan, pikiran, dan jiwa mereka. Hingga lambat laun mereka hilang ditelan kesunyian.

***

“Mengapa malam-malam begini kamu mengajakku ke tempat seperti ini?” 

“Coba kau lihat sepasang gelas yang ada di meja itu.”

“Memang kenapa?” 

“Gelas itu telah ada di situ sejak lama  dan tidak pernah berubah posisinya. Jika kau lihat dalam gelas itu, kau akan melihat di dalam airnya seperti terdapat sebuah senja.” 

 “Wah bagaimana bisa?”

“Dulu, ada sepasang kekasih yang mengalami kecelakaan di dekat Dermaga Tanegashima ini, pesawat yang membawa mereka berdua entah darimana meledak di atas langit ini.”

“Lalu?” 

“Dalam proses kematian itu, ada janji yang belum tunai di antara mereka berdua, maka seperti yang kau lihat, jiwa mereka akhirnya kembali untuk menuntaskan semuanya.”

“Dan air itu? Sebenarnya itu air apa?” 

“Itu adalah cokelat hangat, dengan penjual yang sama misteriusnya dengan kisah mereka berdua. Aku mengajakmu ke sini agar kau tahu betapa indahnya kisah cinta mereka.” 

“Aku mencintaimu dan akan senantiasa begitu,” terdengar celetukan mereka yang hampir bersamaan. 

Kedua pasangan itu menoleh mencari sumber suara, namun tidak ada siapa pun

Lalu cangkir itu tiba-tiba bergetar hebat, sebuah cahaya serupa cahaya senja terpancar kuat dari dalamnya. Kau tahu? Di sana terlihat wajah Aseylum dan Slaine yang sedang tersenyum.   

***


Sunday, January 4, 2015

Fiksimini - << II >>







MALAM TAHUN BARU.

Malaikat penjaga neraka mengadakan pesta kembang api. Para pendosa menjerit.

REQUIEM BORNEO.

Langit gemerlapan seperti kembang api yang meletup. Cahayanya terpancar terang membelah angkasa. Satu per satu nyawa mulai naik meniti anak tangga menuju surga.

MALAM TAHUN BARU.

Para penduduk surga begadang menonton pesta kembang api di neraka.

A MINOR.

Dalam dirinya telah mengalir darah musik.

2 JANUARI.

Usai ditembaki oleh manusia, langit menangis.

HEADLINE SURAT KABAR

Karena prosesi ngunduh mantu yang terlalu lama, Raffi Ahmad memutuskan menggunakan Internet Download Manager.

PENJUAL PAYUNG.

Berjualan di Padang Mahsyar, ia mendapat keuntungan besar.

MUSIM HUJAN.

Buku nikah menjadi best seller.

PIL PENAMBAH USIA.

Tak ada lagi alasan untuk kita tak dapat bersatu.

TRAGEDI TAHUN BARU.

Merasa berisik, ia memotong telinganya. Masih merasa berisik, ia memenggal lehernya. Lalu seseorang datang membantunya keluar dari kebisingan. Yaitu dengan cara memencet tombol 'off' pada televisinya. Namun semuanya telah terlambat.

PROMO TAHUN BARU.

Dijual Terpisah: Hati bekas beserta satu set kenangan yang ada di dalamnya

MEMBUKA LEMBARAN BARU.

Wanita itu membakar tubuh kekasihnya, seluruh kenangan buruknya hangus menjadi abu.
 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template