Saturday, January 31, 2015

Maria dan Martin






M A R I A
Leichten Herzens


"Pace, Mace, sa tra mo! Sa takut. Kata wanita-wanita di sana, itu sangat sakit, Pace, Mace!"

Maria berteriak. Ia menangis sambil berlari menuju tepi laut. Sedang mulutnya tetap mengunyah sirih yang sudah halus sedari tadi.

"Sa mo temui Martin. Sa mo bercerita. Pace, Mace, tra mau menolong sa. Martin pasti ada di laut itu."

Rok jerami yang dipakainya ikut berlarian ke sana ke mari, layaknya pikiran Maria.

Keputusan untuk menikahkannya memang baru diketahui Maria beberapa saat yang lalu. Maria pergi menemui saudara kembarnya, Martin. Ia tak tahu lagi harus mengatakannya pada siapa. Pace dan Mace-nya hanya bisa menganggukkan kepala, tanda patuh terhadap adat yang telah ditetapkan nenek moyang terdahulu.

"Kaka," Maria memanggil Martin sambil terisak, "sa akan menikah. Sa takut. Kaka, bantu sa."

Ia membayangkan tubuh para lelaki itu. Sekali lagi, sungguh tak sanggup. Upacara pernikahan suku 'Marind-Anim' sudah tentu harus dijalaninya. Sudah menjadi hukum adat, setiap wanita yang akan menikah, terlebih dahulu harus dikawin oleh sepuluh orang pria. Upacara ini bertujuan untuk meningkatkan kesuburan wanita. Jika Maria menikah, ia akan tinggal serumah dengan keluarga prianya, yang dihuni beberapa kepala keluarga.

"Kaka, sa tra mo! Bantu sa, Kaka!"

Benar, tak ada kalimat lain lagi selain itu. Itu dan hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Terlalu banyak bahasa yang tak mampu ia bahasakan. Baginya, air mata bukan lagi bercerita tentang kesedihan. Lebih dari itu. Ia menjelma jadi sebuah ucapan selamat atas hal yang Maria takutkan. Ditatapnya wajah langit. Biru. Rupanya ia t'lah lupa kalau langit itu akan tetap biru, walau pada kenyataannya langit tak hanya memiliki warna biru.

Ia hanya perlu menangis, semampunya. Bukankah hanya itu yang bisa ia lakukan?

Berulang kali hal itu dikatakannya pada Martin. Martin hanya melirik ikan-ikan yang menggelepar di atas pasir. Adakah jiwanya berkecamuk? Ia hanya sedikit berujar.

Benarkah hanya itu yang Martin ucapkan? Menyaratkan Maria untuk menunggunya di sebuah bukit. Di sanakah keajaiban itu akan terjadi? Rupanya Maria tak semahir itu untuk menerka isi kepala Martin.

Tetapi, lihatlah! Mata Maria terlihat menyimpan selembar harapan. Mungkin harapan itu hanya seukuran daun kelor, atau lebih kecil lagi. Entah!

Selangkah, dua langkah, ia pergi ke sebuah bukit. Dipandanginya lagi Martin, yang berjalan dengan memegang tombak. Entah apa yang akan dilakukan Martin nanti, itu membuatnya sedikit menyunggingkan senyuman.

Kini, pandangannya tertuju pada lautan yang berombak damai. Segerombolan ikan bercahaya begitu pandai mengalihkan pandangannya. Mereka saling berkejaran. Berlabuh di satu titik. Seperti mendekap suatu benda. Entah.

Ingatannya kembali melesat pada sebuah nama, Martin. Apakah ia akan membiarkan selaput daranya bernasib sama, seperti saudara-saudara wanitanya yang lain?


LH, 18 Januari 2015

==========================================

M A R T I N
Aris Rahman Purnama Putra


Gerombolan ikan-ikan itu terus berenang. Bersembunyi di antara koral dan karang. Dengan mata bak elang yang menerawang mangsa dalam remang, Martin kemudian menghunjamkan tombaknya—membelah air—hingga ujungnya yang begitu runcing menembus tubuh ikan kecil itu. Dalam sekejap saja, ia telah berhasil membuat puluhan ikan menggelepar. Begitu mudah dan sangat mudah seperti biasanya.

Namun ada satu hal yang selalu membuatnya penasaran setiap kali ia berburu: Mengapa ikan-ikan itu selalu bergerombol di karang ini? Apakah saudara-saudara mereka yang lain tak pernah mengabarkan perihal kematian yang dialami oleh ribuan saudara-saudara mereka di tempat ini?

Tidakkah lebih baik mereka berlari sejauh mungkin? Berenang menuju samudera yang lebih luas sehingga mereka akan selamat dari tombak-tombak yang siap merenggut nyawa mereka. Tidakkah dunia ini begitu luas sehingga sayang sekali untuk dihabiskan hanya untuk sekadar berputar-putar di sekitar karang seperti laron yang terus berputar-putar di lentera hingga ajal menghajar?

Kini, Martin membayangkan dirinya seperti ikan kecil yang tak berdaya dan hanya terus berputar-putar hingga akhirnya menggelepar.

"Kaka," Maria memanggil Martin sambil terisak. "Sa akan menikah. Sa takut. Kaka, bantu sa."

Teriakan itu memecah lamunannya. Dilihatnya wajah Maria, begitu muram dinaungi awan kesedihan. Kemudian Martin memeluknya.

"Kaka, sa tra mo! Bantu sa, Kaka!"

Martin hanya senyap. Hatinya kalap. Sudah lama ia menanggung benci terhadap para tetua. Kini, api dendam itu semakin berkobar dalam hatinya, seperti hendak melahap. Betapa mata adik yang begitu dicintainya kini sembap.

Beberapa bulan yang lalu, banyak saudara wanitanya mati mendadak dengan selangkangan bengkak. Menurut salah seorang antropolog yang pernah berkunjung ke kampungnya; kematian itu disebabkan oleh penyakit kelamin akibat ritual yang mereka lakukan. Berkali-kali ia mengingatkan hal tersebut kepada para tetua tapi tidak pernah digubris.

Mungkin dema akan memurkainya karena telah menentang adat. Namun ia tak akan membiarkan adik kesayangannya akan mati mengenaskan.

Ia mengangguk kemudian menjawab pertanyaan adiknya.

“Sudah, hapus ko pu air mata! Cepat larilah ka bukit! Tunggu kaka di sana, nanti ko akan kususul.”

Martin kembali memandang ikan-ikan yang menggelepar, tombak yang tergeletak di sampingnya segera ia sambar.

***

Tak banyak kata-kata yang mengucur dari mulutnya. Karena baginya, kata-kata tak akan banyak mengubah apa-apa. Ia menombak semua tetua yang ditemuinya, membabi buta. Darah muncrat, tombaknya terus menarikan tarian kematian diiringi mantra-mantra laknat. Darahnya mendidih hebat. Tak pernah dirasakan adrenalinnya begitu bergejolak seperti ini. Satu, dua, tiga. Para tetua itu mulai berjatuhan seperti ikan-ikan yang sekarat. Martin tak merasa dirinya kini menjelma sebagai keparat, justru sebaliknya; ia merasa seperti seorang juru selamat.

Semua penduduk terlihat begitu marah, mereka segera masuk honai mengambil tombak dan panah. Puluhan anak panah dan tombak itu kemudian melesat menerjang tubuhnya. Langkahnya gontai, matanya semakin gelap hingga tubuh lemasnya jatuh dengan puluhan tombak dan anak panah yang menancap.

Semua penduduk kemudian membawa jasadnya. Melemparkannya ke lautan hingga ikan-ikan bercahaya itu segera muncul ke permukaan, menangkap jasad yang tak berdaya itu. Para penduduk heran.

“Itu dema?”

Ikan-ikan itu mendekap jasadnya. Mengantarkannya menuju samudra lepas yang begitu luas, bersama ombak yang mengempas.


Surabaya, 18 Januari 2015

*Glosarium dan Rujukan:
Van Baal artikan dema itu sebagai beings yang hidup pada jaman mitis, biasanya mengambil rupa manusia, kadang-kadang juga dalam rupa satwa yang menjadi leluhur klen dan subklen, diasosiasikan dengan totem, dan seringkali juga pencipta totem (van Baal, Dema, 179)

Mengenai data penduduk yang berasal dari J. Van Baal (1966) dan J.C.B Koopmans (1954) menunjuk tahun-tahun 1953 dengan jumlah masing-masing : 8734 jiwa, 8631 jiwa, 7333 iwa dan 7618 jiwa. Dalam tiga periode yan disebut pertama jumlah orang Marind-Anim tampak semakin menurun, tetapi periode data tahun 1953 tampak meningkat dibandingkan tahun 1948. Gejala penurunan jumlah penduduk disebabkan oleh faktor kesehatan dan penyakit. Wabah penyakit yang sering berjangkit, menyebabkan angka kematian yang tinggi. Termasuk penyakit kelamin yang dibawa oleh pemburu burung cendrawasih, dan para militer yang sampai kepedalaman. Penyakit kelamin berkembang dengan cepat karena adanya upacara seksual.
Dalam peristiwa perkawinan suku Marind-Anim, biasanya calon pengantin perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh laki-laki dari kerabat sebelum diserahkan kepada calon suaminya. Hal ini dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut subur (Overweel, 1993:15)

Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang (wikipedia)
http://basyarul-aziz-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-95860-Analisis%20Kajian%20Penulisan%20Etnografi-Kajian%20positivistik%20Suku%20Bangsa%20Marind%20Anim.html
http://www.academia.edu/8377690/SIFILIS_STADIUM_I_Fatimah_Syakirah
http://suku-dunia.blogspot.com/2014/12/sejarah-suku-marind-anim.html

Sa: saya
De: dia
Tra/tara: tidak
Mo: mau
Mace: Mama
Pace: Ayah
Pu: punya
Ka: ke

Terinspirasi dari FF; ChocoVanila - Elegi Kesunyian

0 comments:

Post a Comment

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template