Sunday, January 11, 2015

Fanfiction - Senja dalam Secangkir Cokelat Hangat (Aldnoah Zero)






Sunyi. Memanglah baginya dunia ini terasa begitu sunyi. Waktu-waktu berlalu hanya sekadar lewat tanpa meninggalkan bekas apa pun. Hanya sejenak berhenti lalu berderak kembali menuju kehampaan. Tak ada sedikit pun kenangan, entah kebahagiaan ataupun kedukaan. Baginya, setiap kenangan-kenangan itu hanyalah seperti goresan di atas pasir pantai, menjejak sejenak lalu lenyap terhapus ombak.  Begitulah ia memahami setiap peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya dulu. Tenggelam dalam kesunyian yang begitu hikmat. Tapi sekarang hidupnya sudah jauh berbeda, semenjak dia bertemu dengan kekasihnya, seakan-akan ia memiliki alasan untuk hidup bahkan seribu tahun lagi.

Ia masih begitu setia menunggu, entah sampai berapa lama ia sanggup menunggu, seakan-akan memang Tuhan telah menciptakan ia sebagai seorang lelaki yang senantiasa akan menunggu. Dan bukankah memang hakikat hidup adalah tentang menunggu? Menunggu sembari menuntaskan tugas yang telah dituliskan Tuhan  dalam menjalani kehidupan, hingga akhirnya raga akan dikembalikan dalam sebuah titik ketiadaan.

Menunggu, menunggu, menunggu.

Entah sampai berapa lama lelaki itu sanggup menunggu, menunggu sesuatu yang entah apakah memang benar-benar layak untuk ditunggu. Bahkan perlahan dirasakannya kalau tubuhnya mulai membatu, dari mulai ujung jari kaki, menjalar semakin cepat seperti sebuah listrik yang menyengat, lalu merambat ke atas hingga kini tubuhnya makin memadat.

Menunggu, menunggu, menunggu.

Lelaki itu tak benar-benar peduli dengan dirinya, meskipun banyak orang berkisah bahwa banyak orang akan menjadi patung dalam proses penantiannya. Tapi ia sangat yakin tentang apa yang dilakukannya, bahkan ketika ia benar-benar akan menjadi patung sekali pun, maka rasa cinta terhadap kekasihnya akan meleburkan semuanya, seperti hangatnya matahari yang mencairkan es yang padat. Ya, kekasihnya telah menyelamatkan hidupnya. Maka lelaki itu akan melakukan apa pun untuknya.
Pada suatu masa, ia pernah berjanji kepada kekasihnya, bahwa ia akan memetik sebuah senja, menjadikannya serupa bola-bola gula, dibelah senja itu menjadi dua bagian: satu bagian akan disimpan, sedang bagian yang lain dicampurkannya ke dalam secangkir cokelat hangat dan akan diberikan kepada kekasihnya. Senja  itu akan menyatu dalam tubuh, mengalir bersama setiap kepingan sel-sel darah, melintasi organ-organ yang terjelaskan dalam buku biologi. Senja itulah yang akan terus menjaga dan menghangatkan tubuh kekasihnya ketika ia sedang tidak berada di sampingnya.

"Semoga kau senantiasa dapat merasakan kehangatannya dalam tubuhmu," batinnya.

Angin dingin mulai berembus menerpa wajahnya, membuat rambut yang berwarna abu-abu berkibar-kibar seperti dedaunan yang tertiup angin. Lelaki yang bernama Slaine tersebut masih menunggu sang kekasih di sebuah kafe dekat dermaga. Setiap ia mendengar bunyi peluit atau melihat cahaya di antara kabut, maka seketika dia akan berdiri dan memandang lautan, berharap-harap bahwa itu adalah kapal yang dinaiki oleh kekasihnya. Tapi sudah begitu lama ia menanti, sekelilingnya perlahan mulai berganti, puluhan kapal telah berlabuh, tapi tak satu kapal pun yang membawa kekasihnya, lebih sering kapal-kapal itu merupakan kapal nelayan penangkap ikan. Angin itu kembali bertiup dengan membawa gumpalan-gumpalan putih yang lembut. Hawa dingin makin membuat tubuhnya terasa kaku. 

“Apakah aku akan benar-benar menjadi patung salju?”

Dalam keremangan yang begitu remang, juga dengan gumpalan salju yang begitu lembut dan dingin. Ingatannya kembali kepada saat-saat ia pertama kali bertemu dengan kekasihnya.

***

Di tengah badai salju yang begitu ekstrim, Slaine dan ayahnya berniat melakukan penerbangan menuju Planet Vers. Menurut ayahnya—Profesor Troyard. Di dunia ini, ada sebuah  dunia selain Bumi yang begitu mengagumkan, dengan peradaban yang begitu canggih mengalahkan teknologi yang ada di bumi. Ayahnya begitu sering bercerita kepadanya perihal keindahan planet itu sehingga ia kini begitu tertarik dengannya.

“Apakah kau siap, Slaine?” 

“Sudah sampai sejauh ini, Yah. Aku tidak akan mundur…” Slaine masuk ke dalam sebuah pesawat berbentuk kapsul. “Aku juga ingin melihat dunia yang ada di luar sana.” 

Sabuk pengaman telah merekat. Ayahnya menekan beberapa tombol yang ada di pesawat itu hingga kemudian melesat menuju angkasa. Slaine memandang dari jendela, dilihatnya betapa kini dia mulai terbang membelah awan, menembus cakrawala. Berlapis-lapis langit telah dilewatinya, dengan pemandangan yang berbeda-beda disetiap tingkatnya, dari mulai sekawanan burung-burung, gumpalan awan, lalu sampailah dia pada lapisan langit yang paling hampa, begitu hampa dan hanya kehampaan yang terlihat. Di langit kini hanya terlihat batu-batu angkasa melayang-layang di sekitarnya. Tak ada kehidupan. Kosong.

“Kita sudah melewati atmosfir sekarang, Slaine.” 

Ayahnya melepaskan sabuk pengaman yang mengekang, dilihat tubuh sang ayah melayang-layang seperti kapas. 

“Lepaskan saja sabuk pengamanmu, sudah tidak apa-apa.”

Slaine menuruti ayahnya, perlahan mulai dilepaskan sabuk pengaman, lalu dirasakan tubuhnya mulai melayang-layang seperti kapas.  

“Beginikah rasanya kehampaan?” 

Tubuhnya ringan, begitu ringan seperti tak ada  beban yang menahan. Sejak itulah ia mulai mengagumi langit yang begitu sunyi dan hampa. Ia merasa jiwanya begitu bebas di sini, tak merasa dikekang oleh sesuatu apa pun. Kehampaan membuat hatinya merasa begitu tenang, jauh berbeda seperti ketika ia berada di Bumi. Sejauh ia hidup di sana, yang dilihatnya hanyalah sebuah penderitaan dan kepedihan yang tak berkesudahan.

Tiiit… Tiiit… Tiit… 

Sirene pesawat itu berbunyi, dengan lampu merah yang mulai berkedip-kedip menyala. 

“Sial…! pasti mesinnya sedang bermasalah,” rutuk ayahnya. “Kamu cepat kembali ke tempat dudukmu, Slaine! Dan pasang sabuk pengaman!” 

Ayahnya segera bergegas menuju ruang mesin, Slaine hanya menatap bingung. 

“Sebenarnya apa yang sedang terjadi, Yah?” Suaranya menggema, hanya menggema tapi tak kunjung mendapat jawaban apa pun. Di ruang mesin, ayahnya masih begitu sibuk berusaha memperbaiki  beberapa bagian mesin pesawat yang rusak.   

Pesawat hilang kendali, terjun bebas dan siap menghunjam daratan yang ada di depannya, ayahnya tak kunjung berhasil memperbaiki mesin yang rusak. Slaine hanya pasrah melihat segalanya dari jendela. 

“Apakah aku akan mati?”  

***

Dunia dilihatnya begitu putih, telinganya mendengung hebat, darah semburat di depan matanya. Bau yang begitu harum mulai menyusup ke celah hidungnya, cahaya putih itu terus berpendar begitu terang, seperti cahaya yang menuntunnya menuju surga. 

“Apakah kau tidak apa-apa?” 

Terdengar suara yang begitu lirih, sangat lirih seperti suara angin yang berbisik. Slaine mencoba membangkitkan kesadarannya, ia berusaha membuka matanya yang begitu berat dan meyakinkan diri terhadap apa yang sedang dilihatnya. Wanita itu seperti siluet bermandikan cahaya putih, dengan bau yang sangat harum mengalahkan bau harum bunga apa pun yang ada di Bumi.  

“Apakah kau seorang malaikat atau bidadari?”

“Tidak, aku hanya penduduk biasa.” 

“Jadi, sekarang apakah aku sudah berada di surga?”

“Tidak, kau tidak berada di surga, kau sedang ada di Planet Vers.”  

Wanita itu mencoba sekuat tenaga mengeluarkan tubuh Slaine yang tertimbun reruntuhan pesawat. Hingga kemudian Slaine merasakan bibir yang begitu mengagumkan, bibir itu seperti membelai mesra setiap permukaan bibirnya, dan pada akhirnya bibir itu seperti mendekapnya, menyembuhkan luka nyeri yang dirasakan, melancarkan aliran udara yang terhambat, wanita itu memberikan nafas buatan kepadanya. Hari itu, detik itu, bibir itu, suara yang begitu lirih, dan semua keindahan yang dirasakannya tak akan pernah dilupakan. Sekejap cahaya putih itu berubah menjadi titik hitam, titik hitam yang mulai membesar hingga sempurna gelaplah penglihatannya. Sementara ayahnya, entah kemana, mungkin saja ia menghilang dan lenyap  ditelan kesunyian.   

***

“Apakah kau sudah sadar?” 
Suara lirih itu kembali terdengar, wajahnya yang terlihat kabur perlahan kini mulai jelas. Rambutnya yang pirang terlihat berkilau diterpa cahaya, kulitnya putih sempurna, nafasnya benar-benar begitu harum. Mata Slaine menjelajah ke sekitar, ia melihat dirinya sekarang terbaring di sebuah kamar yang begitu luas dan megah.  
 
“Aku sedang ada di mana?” 
“Di rumahku. Aku menemukanmu tertimbun di antara reruntuhan pesawat.” Wanita itu mencoba menjelaskan. 
“Perkenalkan namaku, Aseylum Vers Allusia. Panggil saja Asseylum.” Terlihat senyum ramah merekah di wajahnya. “Kalau kau sendiri?”
“Aku Slaine, Slaine Troyard.”  Slaine membalas senyuman itu. “Apakah kau melihat ayahku?”
“Tidak, aku tidak menemukan apapun.”

Slaine akhirnya memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Aseylum. Mereka berdua saling bercerita banyak hal, saling berkisah satu sama lain, menghabiskan waktu senantiasa bersama seperti sepasang kupu-kupu yang terbang melintasi taman penuh kebahagiaan.
Di negeri Vers ini, waktu terasa statis. Tak ada fajar, tak ada senja, yang ada hanyalah malam yang begitu kelam temaram.  Tak ada rumput yang hijau, warna-warni bunga, semua hanya berwarna abu-abu, meskipun negeri ini penuh dengan keajaiban, tapi tetap saja negeri ini terasa begitu sendu, sangat amat berbeda dengan Bumi yang begitu berwarna. 
“Jadi Slaine, sebenarnya darimana kau berasal?”
“Mungkin kau pernah mendengar sebuah tempat yang bernama Bumi. Aku berasal dari sana.”
“Aku pernah membacanya dari beberapa buku, bukankah itu planet yang sangat indah, Slaine?” 
“Ya, sebuah planet yang sangat indah.” 
“Maukah kau menceritakannya padaku, Slaine? Katanya langit dan laut di sana berwarna biru?” 

Aseylum memegang tangan Vers dengan memasang wajah penuh rasa ingin tahu. “Aku selalu penasaran dengan hal itu. Apakah air dan udara di Bumi berwarna biru?” 
“Tidak, air dan udara itu tidak berwarna.” Slaine menjelaskan dengan begitu bersemangat. “Namun pada lapisan ketebalan tertentu bisa membuat cahaya yang dipantulkan menyebabkan mereka terlihat berwarna biru.” 
“Air dan udara yang begitu banyak bisa sampai membelokkan cahaya? Aku bahkan tidak bisa membayangkannya, Slaine!” Aseylum pun memeluknya, Slaine merasakan kehangatan yang belum pernah dirasakannya.  
“Aku ingin ke sana, Slaine. Aku ingin pergi ke Bumi bersamamu.”
“Aku mungkin bisa memperbaiki pesawatku dan membawamu ke sana, tapi aku tidak punya bahan bakar.” 
“Kalau begitu gunakanlah aldnoah drive.”
Slaine tercekat, ayahnya memang pernah bercerita tentang sebuah teknologi canggih bernama aldnoah drive yang ada di negeri Vers ini. Tapi menurut cerita ayahnya, untuk mengaktifkannya tidak bisa sembarangan, pengaktifan itu harus dilakukan oleh seseorang dari keturunan kerajaan. Dan kini ia baru menyadari kalau Aseylum adalah seorang putri kerajaan. 
“Baiklah, aku akan segera membuatkannya untukmu.” 
Hari demi hari berlalu, Slaine begitu semangat untuk segera memperbaiki pesawatnya, tidak terlalu susah memang karena peralatan yang tersedia di Vers ini begitu lengkap dan modern. Tentu saja Aseylum juga selalu berada di sampingnya. Pada awalnya pesawat ini hanya terlihat seperti kerangka, lalu perlahan mulai terihat bentuk sesungguhnya dari pesawat itu, dan kini pesawat sudah siap untuk membawa dirinya dan kekasihnya menuju planet impiannya, yaitu Bumi. Pada saat yang bersamaan pula Slaine berusaha keras untuk menemukan ayahnya, dia berkeliling ke setiap penjuru negeri, tapi tak kunjung ada perkembangan yang membahagiakan. Bahkan jika ayahnya telah tiada, ia ingin sekali membawa jasadnya untuk di makamkan di Bumi. Tapi semua nihil.
Slaine akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat meskipun tanpa ayahnya, Aseylum juga telah mendapat izin dari pihak kerajaan. Pesawat itu pun kembali terbang setelah beberapa lama hanya terdiam tak berdaya. Sepanjang perjalanan, Slaine hanya sibuk memandangi wajah kekasihnya yang tubuhnya begitu bercahaya karena aldnoah drive. Tak pernah dibayangkannya hidupnya akan jadi begini, bahkan seumur hidupnya tak pernah terpikirkan kalau dia akan menyukai seorang wanita. Begitulah Tuhan menuliskan takdir indah untuk setiap makhluknya. Dan rasa cinta adalah salah satu mahakaryanya yang paling indah. Apalah jadinya dunia ini jika Tuhan tidak menciptakan rasa cinta? 
Terdengar bunyi sirene pesawat, dengan cahaya merah yang berkedap-kedip.

“Kamu cepat kembali ke tempat dudukmu, Slaine! Dan pasang sabuk pengaman…”

Ingatan itu kembali berkelebat dalam kepalanya, seperti sebuah film hitam putih yang menggambarkan sebuah kedukaan. Bergegas ia menuju ruang mesin sama seperti yang dilakukan oleh ayahnya. 
“Aseylum…! Kamu tetaplah di sini!” 
Aseylum menghampirinya, tangan mereka kembali merekat, dipeluknya tubuh Slaine yang mulai deras berkeringat.
“Aku ingin bersama denganmu lebih lama…” Mata Aseylum menelisik setiap inci tubuh Slaine. Tubuh itu, rambut yang berwarna ke abu-abuan,   semuanya begitu mengagumkan. ”Bersamamu, melihat dunia yang begitu indah itu, laut dan langit yang biru, mendengar suara kelepak sayap burung, mencium bau hujan yang menyegarkan, atau merasakan salju yang begitu lembut lalu meleleh di atas tangan, aku ingin merasakan semuanya bersama denganmu.”
“Aku mencintaimu, dan aku tak ingin berpisah denganmu,” celetuk mereka hampir bersamaan  
Mereka berdua berpelukan sembari mendaratkan sebuah ciuman kepada satu sama lain, bibir mereka beradu, mereka terus berciuman hingga beberapa detik sebelum pesawat itu menyentuh daratan. 

“Apakah kita akan berpisah?”

“Tidak, kita tidak akan berpisah. Tuhan akan selalu mempersatukan kita.”
Pesawat itu meledak. Di angkasa terlihat sebuah cahaya yang begitu memikat, terlihat seperti kembang api dengan warna-warna yang begitu indah. Dalam gemerlap cahaya itu, terlihat siluet sepasang tangan yang saling berpegangan.

***
Slaine mulai lelah menunggu, sedang udara terasa begitu semakin dingin,  ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk memesan minuman kembali untuk menghangatkan tubuhnya. 
“Apakah dia sudah datang, Slaine?” 
“Belum.” 
“Sudah tiga hari kau di sini, apalagi sekarang sedang ada badai salju. Sebaiknya kau segera pulang, Slaine!” 
“Tidak, aku ingin tetap di sini menunggunya.” 
Perlahan matahari mulai surut, cahaya senja dengan mega merahnya terpancar seluas cakrawala, sekawanan burung hilir mudik menuju sangkarnya dengan riuh kelepak sayap yang membahana di angkasa. Dalam segala cerita tentang keindahan Bumi yang diceritakan oleh Slaine kepada Aseylum, ada satu hal yang terlewat. Yaitu senja, betapa mungkin keindahan itu terlewat diceritakan olehnya. Tepat sebelum keberangkatan Aseylum, Slaine pernah berjanji kepadanya untuk bersama melihat senja yang paling indah. Tapi, sampai sekarang ia belum kembali. Slaine membawa dua cangkir cokelat hangat, menunggu dengan harap-harap cemas. 
 
Dari jauh terdengar bunyi gemuruh, asap menyembul dari sebuah pipa dan memenuhi langit, cahaya berkelap-kelip dari balik kabut. Di balik mega merah senja terlihat bayangan sebuah kapal, semula hanya terlihat seperti noktah kecil, lalu makin lama makin membesar hingga terlihat bentuk utuhnya. Kapal itu mendekat dan segera bersandar di dermaga, Slaine kembali bangkit, dilihatnya kapal itu dengan cermat. Kerumunan orang terlihat turun dari dek kapal, Slaine mencoba mendekati kapal itu, berbagai wajah terlihat satu per satu  tapi wajah yang begitu ditunggu-tunggunya tak segera nampak. Tapi sebentar, ternyata di dalam kapal itu masih tersisa satu orang penumpang yang turun, seorang perempuan berambut pirang yang berkilau-kilau diterpa cahaya senja. Bau harum itu segera tercium oleh hidungnya, sensasi harumnya segera membangkitkan berbagai kenangan indah yang selama ini hanya tertimbun begitu lama tapi sama sekali tak membuatnya lapuk. 
“Slaine…” 
“Aseylum…” 
Sepasang kekasih itu berpelukan, saat itu waktu seakan berhenti berdetak, kawanan burung berhenti berkelepak, terdengar bunyi ikan berkecipak namun mereka sama sekali tidak bergerak, di tengah belaian ombak, pasir memainkan alunan melodi serak. Itukah yang namanya cinta? Satu-satunya hal yang dapat membuat inti bumi berhenti berderak. 
“Tidakkah kau lihat senja itu begitu indah, Aseylum?” 
“Ya, begitu indah sama seperti yang pernah kau ceritakan, Slaine.”
Mereka duduk di sebuah meja, dengan dua cangkir cokelat hangat yang terhidang di atasnya, mereka saling bertatapan, lalu berpaling memandang lautan untuk mengagumi keindahan senja, mereka begitu mengagumi senja itu seperti mereka mengagumi satu sama lain.  
“Aku ingin memberimu hadiah, sebuah senja terindah untukmu.” 
Cincin itu berkilatan diterpa sorot senja, ditambatkan cincin itu ke jari manis kekasihnya. 
“Aku mencintaimu dan akan senantiasa begitu,” celetuk mereka hampir bersamaan. 

Guyuran hujan salju terasa membuat badan mereka menggigil. Pancaran senja tak cukup menghangatkan badan mereka, maka secangkir cokelat hangat yang terhidang di atas meja segera mereka minum, rasanya begitu hangat seperti ada sebuah senja di dalamnya. Senja  itu akan menyatu dalam tubuh, mengalir bersama setiap kepingan sel-sel darah, melintasi organ-organ yang terjelaskan dalam buku biologi. Senja itulah yang akan terus menjaga dan menghangatkan tubuh dua kekasih itu. Cokelat hangat yang menghangatkan badan, pikiran, dan jiwa mereka. Hingga lambat laun mereka hilang ditelan kesunyian.

***

“Mengapa malam-malam begini kamu mengajakku ke tempat seperti ini?” 

“Coba kau lihat sepasang gelas yang ada di meja itu.”

“Memang kenapa?” 

“Gelas itu telah ada di situ sejak lama  dan tidak pernah berubah posisinya. Jika kau lihat dalam gelas itu, kau akan melihat di dalam airnya seperti terdapat sebuah senja.” 

 “Wah bagaimana bisa?”

“Dulu, ada sepasang kekasih yang mengalami kecelakaan di dekat Dermaga Tanegashima ini, pesawat yang membawa mereka berdua entah darimana meledak di atas langit ini.”

“Lalu?” 

“Dalam proses kematian itu, ada janji yang belum tunai di antara mereka berdua, maka seperti yang kau lihat, jiwa mereka akhirnya kembali untuk menuntaskan semuanya.”

“Dan air itu? Sebenarnya itu air apa?” 

“Itu adalah cokelat hangat, dengan penjual yang sama misteriusnya dengan kisah mereka berdua. Aku mengajakmu ke sini agar kau tahu betapa indahnya kisah cinta mereka.” 

“Aku mencintaimu dan akan senantiasa begitu,” terdengar celetukan mereka yang hampir bersamaan. 

Kedua pasangan itu menoleh mencari sumber suara, namun tidak ada siapa pun

Lalu cangkir itu tiba-tiba bergetar hebat, sebuah cahaya serupa cahaya senja terpancar kuat dari dalamnya. Kau tahu? Di sana terlihat wajah Aseylum dan Slaine yang sedang tersenyum.   

***


0 comments:

Post a Comment

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template