Friday, January 30, 2015

Sepasang Mata dalam Sunyi



Kota ini benar-benar terasa sunyi. Bahkan dedaunan yang jatuh sama sekali tidak sanggup mengusik kesunyiannya. Peluh yang jatuh terdengar jelas menggema di setiap sudutnya. Hening. Tiada apa pun di dunia ini yang sanggup mengalahkan keheningannya.

Maka tak heran orang-orang menyebut kota ini dengan sebutan Kota Sunyi. Kota di mana kekejaman dan kekelaman berbaur membentuk sebuah awan hitam yang menghiasi setiap inci langitnya. Setiap manusia yang tinggal di kota ini seperti telah kehilangan jiwanya, hanya sebuah raga kosong yang berjalan dengan terus meratapi pedihnya kehidupan.

Terdengar tangisan di sepanjang jalan namun tidak pernah ada satu bulir air mata pun yang dapat menetes. Mereka telah melakukan segala cara agar air mata tersebut dapat menetes untuk sekadar membasahi tanah kota mereka yang gersang, atau juga untuk membasahi pipi mereka yang kerontang. Tapi tidak setetes air mata pun berhasil keluar, hanya rintihan yang terus terdengar menambah kesenduan Kota Sunyi ini.

Seekor gagak hitam yang terbang di langit kota ini, bahkan merasa iba untuk sekadar mampir dan mencicipi daging dari jasad yang bergeletakan di atas hamparan tanahnya yang gersang. Nampaknya Tuhan berniat untuk menghapus keberadaan kota ini dari daftar ciptaan-Nya.

***

Hentakkan beberapa langkah kaki terdengar nyaring, dari lantai bawah, perlahan naik melalui anak tangga, lalu makin terasa dekat menuju tempat persembunyian mereka berdua.

“Sepertinya malaikat maut telah bersiap untuk menagih nyawa yang dipinjamkan Tuhan kepada kita.” Tangan Valtea terus menggenggam erat tangan kekasihnya—Ares. Seakan-akan tak mengizinkan malaikat maut untuk memisahkan keintiman mereka berdua.

“Tuhan tak akan membiarkan kita berpisah begitu saja.” Lalu dipeluknya tubuh Valtea yang sudah beberapa hari ini terasa menggigil.

Beredar kabar, bahwa pasukan rahasia yang membantai ribuan warga Kota Sunyi adalah pasukan yang ditugaskan oleh seseorang yang berkuasa di kota ini. Dua hari yang lalu, Sang Penguasa melakukan perjanjian dengan Kota Asing perihal penjualan segala aset kota berupa tambang minyak. Hal ini menyebabkan Kota Sunyi tak dapat lagi menghasilkan minyak sendiri sehingga harus membelinya dari Kota Lain. Karena itulah Sang Penguasa memutuskan untuk membebankan semuanya kepada warga dengan cara menaikan harga minyak.

Ribuan gelombang penolakan muncul di segala penjuru kota. Hingga akhirnya memaksa Sang Penguasa untuk menenangkan gejolak dengan menugaskan pasukan rahasia. Pasukan itu membantai dengan keji setiap warga yang memprotes kebijakannya. Ribuan warga kehilangan nyawa begitu saja. Sedang yang masih hidup, keesokan harinya setelah bangun tidur, kelopak mata mereka telah hilang secara misterius.

Kini, tibalah giliran kedua pasangan tersebut untuk merasakan kekejian dari malaikat pencabut nyawa .
Dengan tangan yang masih merekat, juga dengan cinta yang tak pernah berkarat. Bibir mereka tak henti mengucapkan doa pada Tuhan.

Perlahan permukaan pisau yang dingin mulai menyentuh mata mereka yang biru itu. Sisi tajamnya menari-nari di atasnya, hingga cairan merah kental menyiprat. Namun perasaan cinta yang besar telah membuat semuanya menjadi tidak terasa.

Hingga akhirnya segalanya berubah menjadi putih.

Meski mata mereka berdua tak lagi dapat melihat apa pun. Di benak mereka, masih terpahat jelas setiap lekuk keindahan wajah satu sama lain. Kau tahu? Dari kelopak matanya yang jatuh menggelinding, keluar cairan bening yang menetes-netes ke tanah. 

Seperti sepasang mata yang sedang menangis...

0 comments:

Post a Comment

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template