Tuesday, March 3, 2015

Tarian Sari






Jika Tuhan menciptakan senja untuk para pecinta, penyair, dan untuk orang-orang melankolis. Mungkin fajar diciptakan untuk para pekerja keras, yang meski masih terkantuk-kantuk, mereka sudah terjaga sebelum mentari bersinar sempurna di ufuk. Karena fajar adalah simbol harapan akan kebangkitan hidup mereka, dari nasib buruk yang senantiasa mengutuk.  

Dan meski fajar belum merekah, saat langit masih hitam kebiru-biruan dengan mega-mega merah yang masih belum tampak menghampar di cakrawala. Sari sudah terlebih dahulu bangun, menghadap Tuhan lantas berdoa agar nasibnya bisa berubah. Tangannya menengadah mencoba menghamba, di atas sebuah sajadah dan mengenakan mukena yang kusamnya sama seperti ketakutan dalam hatinya yang mencekam. Sebuah doa sederhana teruntai melalui bibirnya yang jelita, lantunannya terdengar merdu nan indah seperti sajak-sajak yang menggugah.

Tuhan, aku berharap, kelak anakku bisa menjadi seorang yang bahagia…

Doa itu menjelma bulatan cahaya, kerlap-kerlip, berputar-putar, hingga kemudian terbang menuju surga. Sari sebenarnya tak yakin benar, apakah ia masih layak untuk memohon kepada Tuhan, mengingat dulu Tuhan begitu sering ia abaikan. Tapi kepada siapa lagi ia memohon perlindungan kalau bukan kepada Tuhan? Dan bukankah Tuhan selalu menerima taubat orang yang meminta ampunan? 

Setelah usai beribadah, ia mengemas semuanya dalam sebuah tas kecil yang terbuat dari rajutan daun pandan. Anaknya masih lelap dalam dekapan selimut lembut yang membalut tubuhnya penuh kehangatan. Mukena yang kusam, segera berganti dengan busana dodot ageng—sejenis pakaian yang kerap digunakan oleh mempelai wanita saat melakukan resepsi pernikahan dalam adat Jawa—juga terkadang dikenakan oleh para penari tradisional. Rambutnya yang terurai segera ia sanggul rapi. Dikenakannya bedak tebal, untuk menyembunyikan guratan-guratan kesedihan di wajahnya. 

Sari mulai melangkah di jalanan yang masih lengang, masih sedikit manusia yang berlalu-lalang, beberapa orang bahkan mungkin masih sibuk menggeliat di ranjang. Ia berjalan membawa sound system butut, yang suaranya seperti anjing menyalak. Juga dengan bayinya yang ada dalam gendongan. Hingga kemudian mentari muda merekah, dengan kemilau merahnya yang terpancar seluas cakrawala, terlihat begitu benderang.


***

Di sebuah sudut jalanan kota yang sunyi langkahnya terhenti. Sound system butut itu segera ia setel, suaranya meraung memperdengarkan hentakkan musik tradisional; dengan gendang yang bertalu-talu, dengan bunyi seruling yang mendayu-dayu.  Tak lama, jalanan yang pada awalnya lengang dan remang, kini telah sesak penuh kesibukan. 

Hari ini adalah hari libur nasional, banyak wisatawan asing maupun lokal berkunjung ke Kota Tua, melihat-lihat sisa masa silam yang nyaris terlupakan, atau menonton pertunjukan orang-orang yang terpinggirkan. Di sana Sari mulai berdiri di ujung jalan, berjajar bersama deretan orang lain yang juga sedang mencari sesuap makanan. Tangannya merentang, tubuhnya bergoyang, menari-nari dengan sampur merah yang diseblakkan ke kiri dan kanan. Ia mulai menari, dengan tubuh yang meliuk-liuk, mempertontonkan lekuk tubuh yang membuat orang takjub setengah kikuk. 

Sari menari, dalam mimpi ke sekian kali
Hanya ingatan yang tak hanyut, dan tak terlepaskan
Terbawa arus bermuara. 1

Tarian itu mengalir indah, dengan gerakan yang runtut, teratur, dan seirama. Seperti tak berjeda. Sari hanya terus menari karena tidak ada satu pun kepedihan yang sanggup menyelusup dalam hatinya ketika ia terus menggoyang-goyangkan badan bersamaan dengan melodi pentatonis yang khidmat. 
Menari adalah tentang membebaskan jiwa, dari segala kemunafikkan hidup yang membelenggu. 
Maka siapa pun yang sekarang melihat Sari sedang menari, akan merasakan kejujuran mengalir di tiap gerakannya, kejujuran itu dirasakan berembus bersama angin yang mengempas dari tangannya yang mengibas.

Orang-orang mulai mengerubunginya: kulit putih, kulit hitam, kulit sawo matang, semua seperti terhanyut oleh setiap gerak-geriknya yang seperti mempertontonkan melodrama kesedihan paling sendu yang ada di Bumi. 

Mereka berdecak kagum, bertepuk tangan, entah karena gerakan Sari yang begitu gemulai dan memukau mata, atau karena melodrama kepedihan hidup yang sedang dipertontonkan. Memang tak bisa dipungkiri, kalau beberapa manusia yang hidup di dunia ini, ada yang begitu gembira ketika melihat kesukaran manusia yang lain. 

Mungkin sudah takdirnya kaum proletar menjadi jongos penghibur kaum borjuis.  

Sari maju ke arah kerumunan, mengalungkan sampurnya kepada seorang pria kulit putih, pria itu maju dan menari-nari bersama Sari. Di bawah terpa kilau mentari, mereka tak ubahnya sepasang siluet yang sedang bercinta di ufuk cakrawala. Beberapa penonton yang lain sibuk memotret, berusaha mengabadikannya dengan sudut pandang paling apik. 

Beberapa recehan, uang ribuan, puluhan ribu segera dilempar. Sementara sang pria berkulit putih menyelipkan uang ratusan ribu ke dalam pakaian yang dikenakan Sari, sembari sedikit nakal menyentuh payudaranya yang kenyal. Pria itu juga mengucapkan kekagumannya, tentu dengan bahasa yang tak pernah dimengerti oleh Sari.

Musik telah usai, pertanda pertunjukan juga telah berakhir. Kerumunan orang segera berpencar, sementara Sari sibuk memunguti uang yang dilempar. Nampaknya uang yang didapat hari ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa hari ke depan. Sedang si bayi masih begitu khusyuk dalam diamnya, tidak rewel, seolah-olah mafhum tentang kondisi yang dialami ibunya.
Sari sedikit membuka pakaian atasnya, lalu membiarkan anaknya menyesap ASI yang menetes dari puting  payudaranya, membasahi kerongkongannya yang kerontang.

Sebenarnya, selama ini, Sari hanya menari tanpa pernah mengetahui nama tarian yang senantiasa ia pertontonkan, yang jelas tarian itu adalah warisan turun-temurun keluarganya, diajarkan dari generasi ke generasi hingga kemudian ibunya menurunkan padanya setiap sore di beranda rumah ketika ia masih di desa. 

Ia ingat betul gerakan ibunya yang terlihat begitu gemulai, sampur merahnya kemilau diguyur cahaya senja. Sari kecil begitu bahagia melihat tarian ibunya yang seakan menyatu dengan musik yang mengalun-alun mengambang di udara, setiap ia mencoba mengikuti gerakan ibunya, ia merasa seperti tidak ada beban yang mengekang, jiwanya bebas, terbang lalu melayang-layang, kebahagiaan itu masih begitu jelas terkenang. 

Sampai saat ini ketika Sari melihat angkasa, dilihatnya sang ibunda masih menari-nari begitu gemulai.

***

Mereka berdua duduk di kursi kayu di pinggir jalan, memandang bebukitan yang menjulang dengan tanaman dan pohon yang begitu rindang. Mentari muda muncul di antara bebukitan hijau, cahayanya pecah, semburat jingga di angkasa menyepuh dedaunan. Saat itu, kau akan melihat daratan seolah lautan madu yang membentang.

“Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?”   

“Insya allah yakin, Bu. Sari ingin nasib keluarga kita berubah.”

“Tapi, Le… hidup di kota macam Jakarta itu berat.” 

Raut wajah ibunya terlihat cemas, dalam angannya mulai berkelebatan bayangan tentang ibukota yang ganas. Selama ini, begitu seringnya ia melihat berita-berita sumbang tentang ibukota; kasus perampokan berujung pembunuhan, pemerkosaan berujung mutilasi, dan tentunya, para pendatang yang terpaksa harus tinggal di kolong jembatan, dengan rumah semi permanen, lantas tak berapa lama, tergusur oleh Satpol PP. Banyak kelakar, tentang kekejaman ibukota yang tak ubahnya ibu tiri. 

Ibukota adalah harimau, yang jika kau tak benar-benar ahli mengendalikannya, atau tidak ada pawang yang mendampingimu. Ia akan melumat habis kepalamu, tubuhmu, kakimu. Mengunyahmu seperti sosis ayam tepung. 

 “Sari siap Bu menerima konsekuensinya. Lagian Sari ‘kan sudah dewasa. Sudah bisa jaga diri sendiri. Di sana kan Sari juga bisa nginap di rumah Lek Pamuji.” 

Meskipun Sari sebenarnya juga tak benar-benar yakin dengan apa yang dikatakannya sendiri, dalam hatinya terbersit sedikit keraguan yang kemudian segera ia tepis, bagaimanapun juga ia ingin memperbaiki nasib, dan salah satu jalan pintasnya adalah dengan bergelut mengadu nasib di ibukota.

“Ya sudah kalau begitu, Ibu hanya bisa mendoakanmu dari jauh. Semoga Gusti Allah selalu menjagamu ya, Le.” 

Dipandanginya wajah anaknya sekali lagi, ada banyak hal sebenarnya yang mengganjal di benaknya hingga kemudian ia benar-benar melepas kepergian anaknya tersebut.

“Kamu sudah bawa perlengkapan narinya ‘kan?” 

“Sudah, Bu.”  

“Meskipun sedang di kota orang, kamu harus tetap menari, Le. Karena itu warisan leluhur kita yang harus kamu tetap jaga.” 

Inggih, Bu.”

Kemudian bus yang ditunggu-tunggunya pun melintas dan berhenti di depannya, keharuan pun pecah di antara keduanya. Mereka berpelukan, lalu saling melambaikan tangan. Sari mulai naik ke atas bus, dengan menenteng tas berisi beberapa pakaian dan perlengkapan tari, dilihatnya sosok ibu dari balik jendela yang lambat laun mengecil, hingga kemudian menjadi noktah yang lenyap dari kejauhan. 
Perjalanan itu memakan waktu berhari-hari hingga kemudian ia sampai di Terminal Tanah Abang. Hanya berbekal sebuah alamat yang ia tulis dalam selembar kertas, ia mulai berkeliling mencari rumah Leknya. 

***

Senja telah lenyap dari pelupuk mata, berganti dengan purnama yang menggantung bersama jutaan gemerlap lampu yang berkeredap seperti kunang-kunang yang menghampar di langit.  Ia telah sampai pada alamat seperti yang tertera pada kertas yang dibawanya, tapi tak dilihatnya satu rumah pun berdiri di sana. Tempat itu kosong melompong, reruntuhan rumah berserakan, seolah kota penuh dosa yang hendak dimusnahkan. Sari menatap heran, lalu bertanya pada orang yang ada di sekitar. 

“Dulu memang pernah ada perkampungan kumuh di sini, lalu digusur oleh pemerintah karena dianggap menganggu keindahan tata kota,” kata seseorang yang ditemuinya. 

Begitulah pada akhirnya Sari memutuskan untuk terus berjalan, lantas tidur di bawah jembatan layang dengan alas berupa koran, beruntunglah ia masih membawa selimut untuk mendekap tubuhnya dari rasa menggigil yang mulai menjalar. 

Tapi saat itu, ia tidak benar-benar bisa tidur, matanya masih setengah membuka memandang siaga. Ia takut. Tapi bukanlah temaram yang memicu rasa takutnya itu menyeruak, melainkan geraman-geraman makhluk kasat mata yang sedang berahi yang menatap tubuhnya yang begitu sintal penuh nafsu. 

Ia gemetar melihat beberapa pria bertato mulai mendekatinya sambil menelan liurnya berkali-kali. Kemudian Sari segera berjingkat hendak melarikan diri dari terkaman pria pesakitan dengan libido yang membuncah tersebut.  Tapi, hanya beberapa langkah, pria bertato itu sanggup mencengkeram tangan Sari, dirasakannya cengkeraman itu begitu kuat, seperti cakar-cakar harimau yang hendak melumat habis mangsanya. 

Ibukota adalah harimau…

Kata-kata itu kembali melayang-layang dalam semesta pikirannya, entah ia mendengar kata-kata itu darimana, karena selama hidupnya, sudah terlalu banyak kata-kata yang didengarkannya. Sari kini hanya pasrah tubuhnya dikoyak membabi-buta oleh para pria pesakitan yang kesepian. Setelah puas menyesap rasa manis tubuh Sari, pria-pria tersebut berlalu tanpa perasaan belas kasih sedikit pun. Persetubuhan yang pada akhirnya meninggalkan jejak dosa dalam rahimnya. Sari merintih dalam kesunyian, sebuah rintihan yang begitu lirih terdengar dalam keheningan yang purna. 

Matanya sembap, malam itu, Sari ingin sekali pulang lagi ke kampungnya. Tapi tak mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini, maka Sari memutuskan untuk membelah jalanan kota yang senyap, tanpa pernah tahu akan pergi ke mana.         

Setelah berapa jauh ia melangkah, malam itu Sari bertemu dengan salah seorang janda sebatang kara yang memiliki usaha warung kopi, karena merasa iba, Sari akhirnya diijinkan untuk tinggal bersamanya. Dua orang itu hidup bersama, pagi hingga sore Sari akan pergi ke Kota Tua untuk menari, sedang sore hingga malamnya ia akan membantu si Janda di warung kopi. Nasib mereka tak jauh beda, itulah yang menyebabkan mereka berdua akhirnya bisa saling akrab berbagi kegetiran hidup.

Sembilan bulan kemudian, bayi dalam rahim Sari lahir. Seorang bayi perempuan yang begitu anggun dan jelita, kelahiran yang seperti setetes berkah yang luruh bersama hujan kepedihan yang begitu lebat menderanya. Bayi itu dibesarkan oleh dua ibu penuh kasih sayang, sehingga hampir tak pernah dirasakannya kelaparan atau kehausan. Beberapa minggu ini, Sari bertekad untuk mencari uang lebih giat, dan membawa bayi tersebut untuk bertemu dengan neneknya, meskipun ia juga takut neneknya tidak akan menerimanya.  

***

Hujan yang mengguyur tiba-tiba memaksa Sari untuk sementara berteduh dan menghentikan pertunjukannya.  Ia  mengeluarkan uang yang telah dikumpulkannya, dan mulai menghitungnya satu per satu. Matanya berbinar melihat uang yang dikumpulkannya sudah cukup untuk ongkos dia dan anaknya untuk pulang kampung, Sari merasa ingin sekali menuntaskan rasa rindu terhadap ibunya. Esok pagi-pagi sekali, Sari berniat akan pulang kampung dengan membawa serta anaknya. 

Sari menengadah menatap langit Jakarta, manatap nanar hujan yang mericik-ricik berjatuhan,   gumpalan awan-gemawan terlihat berarak  membentuk figur seorang wanita tua yang sedang menari-nari begitu gemulai, lalu  pelangi merekah seperti mengguratkan sebuah senyuman. 

Ia tak pernah menyadari, bahwa selama ini ibundanya selalu menatap bangga dirinya yang sedang menari setiap hari, dari atas surga.  

Surabaya, 11 Februari 2015

Cerpen terinspirasi dari lagu Frau berjudul Tarian Sari
1) Dikutip dari lirik lagu Frau – Tarian Sari

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template