Saturday, July 26, 2014

Diorama Senja Di Tanah Surga

Senja yang biasanya memancarkan cahaya indah berwarna jingga, kini berubah menjadi senja berwarna kelabu. Tidak, pada kenyataannya, hampir setiap hari memang senja disini berwarna kelabu, kami tidak pernah mengerti bagaimana keindahan senja sesungguhnya, kecuali dari buku-buku bacaan yang diberikan oleh para relawan dari luar negeri.

Kepulan asap-asap membumbung di seluruh penjuru kota, reruntuhan bangunan berserakan tak ubahnya seperti daun-daun yang berguguran dari batang pohon. Suara tangis pun sudah biasa sekali terdengar, tak ubahnya seperti suara jangkrik yang rutin biasa kalian dengar setiap malam hari. Rasa takut itu selalu hadir, di setiap aktivitas yang kami akan lakukan, selalu diliputi rasa takut. Entah oleh sebuah bom yang tiba-tiba dijatuhkan oleh beberapa pesawat, roket yang meluncur yang menghajar tanpa ampun, atau oleh pasukan angkatan darat, yang membawa senapan canggih, yang ribuan pelurunya menghujani apapun yang ada di depannya tanpa pandang bulu. 

“Kak, kenapa sih mereka selalu nyerang kita? kita kan gak salah apa-apa kak”

“Kakak gak tahu juga apa alasan sebenernya mereka melakukan semuanya ini Syifa. Mungkin hati mereka belum di buka kan pintu-pintu hidayah sama Allah.  Pokoknya kamu tidak boleh membenci mereka ya Syifa, benci perbuatannya boleh, tapi jangan membenci orangnya, agamanya, dan yang lainnya. Mereka sebenernya gak tahu apa yang sedang mereka perbuat, mereka hanyalah orang yang sesungguhnya diperbudak oleh rasa dendam yang tak berkesudahan.”

“Oh begitu ya kak.”

“Iya Syifa, dan satu lagi, kamu ingat apa yang pernah dikatakan Ibu, kamu juga gak boleh dendam apalagi sampai ingin membunuh merea, tidak semua orang yang beragama selain kita itu orang jahat, dan juga tidak semua orang yang berasal dari negara selain kita juga orang yang jahat. Seperti koloni semut, kita hanya menggigit kalau kita atau saudara kita diinjak. Dan di dunia ini masih banyak kok orang yang baik”

“Iya sih kak, tapi Syifa kan jadi kesel, gak bisa lihat mataharinya tenggelam karena ketutupan asap”

“Tenang Syifa. Sebentar lagi kita akan bisa melihat senja yang indah seperti di buku bergambar yang kamu bawa itu”

Begitulah sebuah percakapan sederhana antara aku dan adikku, yang sekaligus mengiringi terbenamnya matahari senja di kota kelabu ini. Sebuah pertanyaan sederhana terlontar dari jiwa yang masih belum tahu apa-apa tentang dunia. Ya, ia tidak tahu apa-apa, yang ia tahu hanyalah tiap malam dia terpaksa terbangun oleh suara ledakan, entah oleh roket dari pihak Hamas atau dari Tentara Israel. Entahlah, yang ia tahu hanyalah setiap pagi, sekolahnya selalu berakhir lebih cepat ketika terlihat kepulan asap, atau bangunan di sekitar sekolah mulai rubuh terkena bom yang jatuh dari atas langit.

Adikku bernama Syifa. Umurnya sekarang sekitar 4 tahun. Ia bersekolah di sebuah di Taman Pendidikan yang baru 4 tahun lalu resmi didirikan yang merupakan bantuan dari PBB. Meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, ia tetap bersemangat dalam belajar, dan meski dalam segala kekurangan yang ada, ia tetap berani bermimpi, sebuah mimpi yang sederhana… sebuah mimpi yang sangat sederhana. Ia hanya ingin melihat senja yang indah, seperti yang ia lihat di buku cerita bergambar yang selalu ia bawa kemana-mana. Buku itu ia dapat dari seorang relawan asal Indonesia yang waktu itu membagikan buku-buku pada semua anak-anak yang ada disini. Sebuah buku cerita bergambar berjudul DIORAMA SENJA DI TANAH SURGA.

“Allahuakbar…Allahuakbar…”

Suara adzan terdengar berkumandang dari sebuah masjid yang ada di dekat bangunan tua tempat kami duduk. Kami berbuka puasa dengan sepotong roti dan secangkir teh hangat yang kami dapatkan secara gratis dari masjid.

“Ayo Syifa, makan yang banyak, soalnya nanti malem kita mau pergi jauh, nyusul ibu”

“Wah kita mau nyusul ibu ya kak, oke Syifa bakalan banyak makannya”

Ia pun memakan makanannya dengan lahap. Namun, ia tak pernah tahu, kalau Ibunya sudah setahun lalu meninggal. Ibu kami adalah seorang Dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit sederhana di Gaza City, beliau meninggal setelah terkena hantaman roket Israel saat beliau sedang praktek. Dan aku sampai saat ini hanya mengatakan pada adikku, kalau Ibu hanya pergi ke rumah kerabatnya di Mesir.

Setelah berbuka, kami pun segera mengambil wudlu, lalu Sholat Maghrib dan Sholat Isya’ di masjid tersebut. Sesaat sebelum Sholat Tarawih, kami bergegas untuk keluar masjid dan pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang yang akan kami bawa untuk bepergian jauh. Keluar dari kota dan negara ini.

Ayahku, dan 3 paman kami yang lainnya, telah membuat sebuah rencana agar bisa keluar dari Palestina dan menuju Mesir malam ini juga. Paman telah menyiapkan sebuah mobil di daerah Deir Al-Balah untuk kami gunakan menuju Rafah, tapi kami harus terlebih dahulu melewati pos penjagaan Tentara Israel yang ada di perbatasan Gaza. Namun baru saja, ayah kami mendapat kabar, kalau sekitar pukul 19.00-20.00. Tentara Israel akan melonggarkan penjagaannya diperbatasan, menghentikan serangannya ke daerah Gaza untuk menghormati umat Muslim yang sedang melaksanakan ibadah Sholat Tarawih. Lalu ayah kami juga mendapat kabar, tentang Pemerintah Mesir yang membuka wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Negara Palestina. Tepatnya di daerah perbatasan Rafah, untuk menerima warga Palestina yang menjadi korban dan membutuhkan perawatan khusus. Inilah salah satu kesempatan kami untuk keluar dari kota kelabu ini,  satu kesempatan agar kami bisa memandang senja yang lebih cerah dari biasanya, memandang senja yang lebih indah daripada biasanya, senja yang indah… seperti senja yang ada di surga. Senja yang cahayanya menyinari sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Cahayanya memantul di permukaan air nya, membuat taman bunga warna-warni yang ada di sampingnya terlihat bersinar. Sebuah Diorama Senja, Di Tanah Surga.  Meskipun sebenarnya, aku tak tahu, apakah di surga terdapat senja seperti itu. Namun setidaknya di buku bergambar itu… ada.

***

Jam ditanganku sekarang sudah menunjukkan pukul 19.45

“Sial… kita hampir kehabisan waktu. Ayo cepat!!!”  kata paman Ahmad yang berada di baris paling depan. Dibelakangnya ada Paman Yusuf, lalu aku yang berlari sambil menggendong adikku, lalu Paman Ali dan yang paling belakang adalah Ayahku.

Beberapa ratus meter lagi kami akan keluar dari wilayah Gaza dan sampai di wilayah Deir Al-Balah.

“Ayo.. tinggal sedikit lagi” kataku dalam hati.


***

Sekarang pukul 20.02

Dan kami masih belum keluar dari Gaza, terlihat dari kejauhan para Tentara Israel bersiap kembali untuk melakukan patroli di wilayah perbatasan. Kami pun berhenti sejenak untuk mengatur strategi.

“Bagaimana ini, mereka sudah ada di depan, kita tidak bisa menerobosnya” kata Paman Ahmad

“Baiklah, aku akan menarik perhatian mereka, kau jaga anak-anakku dan bawa mereka dengan selamat” Ayahku menimpali perkataan Paman Ahmad

“Tapi tidak bisa begitu, kita berangkat bersama-sama, kita harus keluar bersama-sama” kata Paman Ali. Paman Yusuf pun mengangguk.

“Tapi… sudah tidak ada waktu, aku akan menyusul tenang, ini satu-satunya kesempatan” kata Ayahku

“Baiklah kalau itu maumu, tapi biarkan aku menemanimu. Biar Yusuf dan Ali yang menjaga anakmu” kata Paman Ahmad.

“Fatih, jaga adikmu baik-baik ya” kata Ayah sembari melempar sebuah senyuman manis

“Tapi yah..”

“Tenang, Ayah dan Paman Ahmad akan menyusul” Lalu Ayah dan Paman Ali menghilang diantara semak-semak yang ada disana.

Sementara aku meneruskan perjalanan bersama Paman Ali dan Paman Yusuf.

***

Pukul 20.09

Tinggal beberapa meter lagi untuk bisa keluar dari wilayah Gaza. Namun, terdengar suara rentetan tembakan dari arah belakang kami.

“Paman, kita harus kembali” kataku yang panik mendengar rentetan tembakan tadi. Sementara Syifa yang  sedari tadi terlelap tidur pun terbangun menangis.

 Lalu terlihat satu orang Pasukan Tentara Israel berhasil menyusul kami.

“Tidak bisa, kita harus cepat Fatih”

Dan Tentara tersebut pun melepaskan tembakan senapan mesinnya dari kejauhan. Sebuah peluru mengenai kaki kiriku, aku terjatuh, begitu juga dengan Syifa, lalu peluru selanjutnya mengenai lambungku. Dan seketika itu semuanya berubah menjadi sangat terang. Terlihat  sebuah cahaya yang terang, sebuah cahaya senja yang sangat indah. Lalu dibawahnya mengalir beberapa sungai-sungai, cahaya senja itu memantul di permukaannya, dan membuat taman bunga di sampingnya terlihat indah. Disana aku melihat Ibu dan Ayah sedang duduk bahagia disana.

“Fatih… Tolong jaga adikmu baik-baik ya” Kata ibuku  

“Ya, kamu harus bisa jadi laki-laki yang kuat. Ayah titip Syifa padamu Fatih”

Mereka tersenyum kearahku…

Setelah itu semuanya menjadi gelap…


***

20 tahun kemudian…

Hari ini merupakan hari yang sangat membahagiakan seumur hidupku. Adikku, Syifa, kini telah resmi lulus dari Universitas Al-Azhar Fakultas Kedokteran. Sungguh sebuah hal yang sangat membahagiakan bagiku, mengingat 20 tahun yang lalu, kami melewati peristiwa yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Ayah dan Paman Ahmad tak pernah kembali semenjak itu, entah bagaimana kondisinya sekarang, apakah masih hidup atau tidak, kami tidak pernah bisa memastikannya. Aku sendiri juga nyaris kehilangan nyawa, beruntung Paman Ali dan Paman Yusuf  berhasil menyelamatkanku, setelah berhasil mencapai daerah Rafah dan masuk wilayah Mesir, mereka bergegas membawaku ke rumah sakit terdekat untuk di operasi. Meskipun tertembak di daerah lambung, untung pelurunya tidak terlalu dalam sehingga masih bisa di keluarkan. Namun, kaki kananku terpaksa harus diamputasi karena peluru yang satunya lagi. Tidak apa, setidaknya aku masih bisah hidup pikirku. Setelah itu aku diberi modal oleh Paman Ali untuk membuka lapak dagangan di pasar. Dari itulah aku membiayai kuliah adikku dan makan sehari-hari. Kini kehidupan kami berangsur membaik.

“Kak kita berhenti disini yah, bentar lagi adzan, kita buka disini aja” Adikku memarkirkan mobilnya di sebuah lembah.

“Ya udah terserah kamu, kamu juga yang nyetir” Adikku pun menurunkan aku dari mobil beserta kursi rodaku.

“Kak, ingat gak waktu dulu, kita juga pernah duduk-duduk gini, nunggu buka puasa sambil mandang matahari senja diatas bangunan tua”

“Kamu masih inget aja Syifa”

Ingatanku kembali ke dua puluh tahun silam. Saat adikku masih berumur 4 tahun, kami memandang matahari senja dari atas gedung tua. Namun, senja kali ini sangat berbeda dari waktu itu. Senja yang ini lebih indah, cahaya jingganya berpendar sangat indah, memantul diatas permukaan Sungai Nil, membuat sebuah taman kecil di dekatnya terlihat indah sekali. Sebuah pemandangan yang mengagumkan. Sebuah diorama senja, di tanah surga.

***


foto merupakan editan dari potongan adegan anime 5 cm Persecond

2 comments:

  1. Mas Aris Rahman, aku kagum sama ide2 ceritanya...
    termasuk yg di FF duet bareng mb Lei ^_^
    penasaran juga, dapet ide dari mana? dan utk setting tempat maupun kebiasaan orang di tempat tsb itu sumbernya dari mana saja? :D

    ReplyDelete
  2. Ini tulisan lama, mbak. Masih amburadul tulisannya. :D

    Kalau ide cerita kebanyakan dari hal sepele, kalau cerita ini saya tidak sengaja nemu kata "Diorama" di beranda FB. Terus akhirnya disambung jadi Diorama Senja di Tanah Surga, karena waktu itu lagi hangat2nya perang Israel dan Palestina. Saya juga nemu artikel tentang perbatasan Mesir yang lagi dibuka untuk menampung korban luka peperangan di Palestina. Terus diputer2 lagi idenya hingga akhirnya jadi ini. :D

    Sumber saya dari google, bacaan, kadang acara televisi. :D

    Terima kasih sudah berkunjung. :D

    ReplyDelete

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template