Friday, April 17, 2015

Semacam Gangguan Kecil pada Otak Penderita Megalomania






INSOMNIA

Sudah berhari-hari tiap malam kau tidak bisa tidur. Selalu terjaga karena merasa diawasi oleh sesuatu yang entah apa.

Malam ini, kau memergoki seekor ular sedang merayap di kolong tempat tidur. Tanpa ragu kau segera menghajarnya dengan popor senapan. Tak berapa lama, dari kamar sebelah, istrimu menjerit menghampiri dengan kepala berlumuran darah.

PERMAINAN ANAK-ANAK
Adikku sangat payah bermain petak umpet, maka aku membantunya untuk mencari tempat persembunyian yang paling baik.
Dan tampaknya usahaku telah berhasil, adikku baru berhasil ditemukan dua hari kemudian, dalam keadaan mengambang di Sungai Brantas.

PEMAKAMAN YANG GANJIL
Tak pernah ada yang tahu bagaimana mayat itu bisa menghilang dari liang lahatnya, semua orang heran. Dalam kuburannya hanya ditemukan secarik kertas; "Asuransimu sudah cair!"

DEATH NOTE. 
"Ajarkan aku bagaimana cara menuliskan namamu." Tapi ketika aku telah benar-benar bisa menuliskan namamu, kau malah pergi meninggalkanku.

CARA MUDAH MEMBUNUH PENYAIR. 
Kusembunyikan kertas dan pulpennya. Tak berapa lama, sajak-sajaknya menyembul dari otak lalu mencekiknya hingga tewas.

BAYI AJAIB.
Ketika aku sedang membisikkan azan ke telinga bayiku yang baru lahir, ia berteriak, "Salah makhrojnya!" sambil menyuruhku untuk mengulangi lagi.

Thursday, April 16, 2015

Cincin Berlian


Warsinah mencoba mengingat-ingat berapa kisaran harga benda itu. Kurang lebih sekitar tiga juta, pikirnya. Ya, memang sebulan lalu, majikannya pernah mengajaknya pergi ke sebuah toko perhiasan di salah satu pusat perbelanjaan. Dan, ia benar-benar masih ingat betul, kalau cincin itu terbuat dari emas asli yang bertakhtakan berlian di atasnya.
Ia pandangi dengan teliti setiap lekuk permukaannya, seolah cincin itu adalah tubuh suaminya yang sedang tidak mengenakan sehelai busana. Berlian itu berkilat-kilat, seperti sepasang mata yang menggoda dan sedang mengajaknya bercinta. Sambil sesekali menelan liurnya, ia kembali berpikir. Bagaimana mungkin majikannya bisa begitu cerobohnya, menaruh sembarangan cincin seharga setara tiga kali lipat gajinya?
Warsinah mulai memikirkan masak-masak, bagaimana kalau ia curi saja cincin itu? Lumayan, uangnya bisa buat beli kipas angin yang sudah sejak dua hari lalu rusak. Sisanya, tentu bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, angannya mulai membayang wajah majikannya bila ia ketahuan mencuri.
Mukanya akan merah padam, tangannya mengepal mencoba melepas murka.
“Kupecat kau!”
Jika kata itu yang keluar, sungguh masih mending. Bagaimana kalau ia akan dilaporkan polisi? Ia akan diringkus dan digelandang ke dalam penjara, seperti seorang nenek bernama Asiyani, yang pernah ia lihat di televisi.
Setelah bergulat lama dengan bisikan iblis dan malaikat yang ada di kepalanya. Warsinah pun akhirnya memberanikan diri, ia sambar cincin yang tergeletak di meja itu, tak ubahnya pencopet kawakan yang kerap beroperasi di Tanah Abang. Lalu, disembunyikan cincin itu dalam saku baju depannya. Ia segera berlari menuju dapur, melanjutkan kembali kegiatan memasaknya, seolah tak ada apa-apa.
Kemudian terdengar teriakan panjang dari arah entah, sedang memanggil namanya. Ia gemetar. Lidahnya keluh. Tubuhnya mematung kaku. Lama ia tidak meresponnya, hingga kemudian terdengar suara pintu dapur yang dibuka.
“Waarsinaaah…!”
Warsinah kaget, tubuhnya refleks menjorok ke depan hingga membuat cincin itu jatuh ke dalam wajan masakannya.
“Kenapa dipanggil gak nyahut sih?”
Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Tubuhnya lunglai, kata-kata pecat maupun bayangan penjara telah menyembul dari otaknya. Karena terlalu panik, ia kemudian pingsan dalam dekapan majikannya.
“Apa sudah seharian ini dia belum makan ya?” Majikannya menatap wajah Warsinah heran. Sementara dari arah luar rumah, terdengar tangisan anak perempuannya.
“Ma…! Cincin mainanku ilang…!”

Saturday, April 4, 2015

#TantanganGFMFF: Kematian Kakek dan Hikayat Secangkir Teh Tubruk


   “Sebelum memutuskan sesuatu, tenangkanlah pikiranmu dengan minum teh tubruk terlebih dahulu,” kata Kakek pada sebuah sore setelah kami mengaji bersama di surau. “Presiden kita contohnya, pasti ia tak pernah merasakan ketenangan dari meminum teh tubruk. Hingga keputusannya terkesan grusa-grusu dan mudah berubah, seperti soal kenaikan BBM. ”

               Aku tak pernah tahu soal politik, tapi yang kutahu; Kakek adalah seorang aktivis humanis yang religius.   Berkali-kali kulihat Kakek ikut berunjuk rasa bersama warga yang lain memprotes kebijakan yang meresahkan. Dan sebagai seorang aktivis, suara Kakek begitu lantang—menyuarakan ketidak-adilan—hingga sangat disegani para petinggi dan sering berhasil menggagalkan berlakunya kebijakan-kebijakan yang menyimpang.

              Namun,  dua hari yang lalu, Kakek wafat. Penyakit jantungnya kambuh saat Kakek ikut turun aksi untuk memprotes kebijakan presiden soal pembatalan hukuman mati terpidana narkoba. Ribuan orang datang ke pemakaman Kakek. Beliau dikebumikan di pemakaman yang ada di kampung kami.

                  Semua orang berduka, tapi selalu saja ada segelintir orang yang tertawa.

                 Hari ini, tepat dua hari setelah Kakek meninggal. Pak Presiden kembali datang ke kampung kami, dan mengatakan akan menggusur makam untuk dijadikan jalan tol.


            Segera aku merangsek mencoba mendekat padanya, dan mencoba menyiramnya dengan secangkir teh tubruk yang mendidih. 

                  Semoga Pak Presiden bisa merasakan ketenangan seperti yang dirasakan Kakek... (*)

*200 kata
Menjawab tantangan Mbak ChocoVanilla
Tema; Teh Tubruk
Genre; Satire

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template