“Sebelum memutuskan sesuatu, tenangkanlah pikiranmu dengan minum teh tubruk terlebih dahulu,” kata Kakek pada sebuah sore setelah kami mengaji bersama di surau. “Presiden kita contohnya, pasti ia tak pernah merasakan ketenangan dari meminum teh tubruk. Hingga keputusannya terkesan grusa-grusu dan mudah berubah, seperti soal kenaikan BBM. ”
Aku tak pernah tahu soal politik, tapi yang kutahu; Kakek adalah seorang aktivis humanis yang religius. Berkali-kali kulihat Kakek ikut berunjuk rasa bersama warga yang lain memprotes kebijakan yang meresahkan. Dan sebagai seorang aktivis, suara Kakek begitu lantang—menyuarakan ketidak-adilan—hingga sangat disegani para petinggi dan sering berhasil menggagalkan berlakunya kebijakan-kebijakan yang menyimpang.
Namun, dua hari yang lalu, Kakek
wafat. Penyakit jantungnya kambuh saat Kakek ikut turun aksi untuk memprotes
kebijakan presiden soal pembatalan hukuman mati terpidana narkoba. Ribuan orang
datang ke pemakaman Kakek. Beliau dikebumikan di pemakaman yang ada di kampung
kami.
Semua orang berduka, tapi selalu
saja ada segelintir orang yang tertawa.
Hari ini, tepat dua hari setelah
Kakek meninggal. Pak Presiden kembali datang ke kampung kami, dan mengatakan
akan menggusur makam untuk dijadikan jalan tol.
Segera aku merangsek mencoba
mendekat padanya, dan mencoba menyiramnya dengan secangkir teh tubruk yang
mendidih.
Semoga Pak Presiden bisa merasakan ketenangan seperti yang dirasakan
Kakek... (*)
*200 kata
*200 kata
Menjawab tantangan Mbak ChocoVanilla
Tema; Teh Tubruk
Genre; Satire
0 comments:
Post a Comment