Thursday, April 16, 2015

Cincin Berlian


Warsinah mencoba mengingat-ingat berapa kisaran harga benda itu. Kurang lebih sekitar tiga juta, pikirnya. Ya, memang sebulan lalu, majikannya pernah mengajaknya pergi ke sebuah toko perhiasan di salah satu pusat perbelanjaan. Dan, ia benar-benar masih ingat betul, kalau cincin itu terbuat dari emas asli yang bertakhtakan berlian di atasnya.
Ia pandangi dengan teliti setiap lekuk permukaannya, seolah cincin itu adalah tubuh suaminya yang sedang tidak mengenakan sehelai busana. Berlian itu berkilat-kilat, seperti sepasang mata yang menggoda dan sedang mengajaknya bercinta. Sambil sesekali menelan liurnya, ia kembali berpikir. Bagaimana mungkin majikannya bisa begitu cerobohnya, menaruh sembarangan cincin seharga setara tiga kali lipat gajinya?
Warsinah mulai memikirkan masak-masak, bagaimana kalau ia curi saja cincin itu? Lumayan, uangnya bisa buat beli kipas angin yang sudah sejak dua hari lalu rusak. Sisanya, tentu bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi, angannya mulai membayang wajah majikannya bila ia ketahuan mencuri.
Mukanya akan merah padam, tangannya mengepal mencoba melepas murka.
“Kupecat kau!”
Jika kata itu yang keluar, sungguh masih mending. Bagaimana kalau ia akan dilaporkan polisi? Ia akan diringkus dan digelandang ke dalam penjara, seperti seorang nenek bernama Asiyani, yang pernah ia lihat di televisi.
Setelah bergulat lama dengan bisikan iblis dan malaikat yang ada di kepalanya. Warsinah pun akhirnya memberanikan diri, ia sambar cincin yang tergeletak di meja itu, tak ubahnya pencopet kawakan yang kerap beroperasi di Tanah Abang. Lalu, disembunyikan cincin itu dalam saku baju depannya. Ia segera berlari menuju dapur, melanjutkan kembali kegiatan memasaknya, seolah tak ada apa-apa.
Kemudian terdengar teriakan panjang dari arah entah, sedang memanggil namanya. Ia gemetar. Lidahnya keluh. Tubuhnya mematung kaku. Lama ia tidak meresponnya, hingga kemudian terdengar suara pintu dapur yang dibuka.
“Waarsinaaah…!”
Warsinah kaget, tubuhnya refleks menjorok ke depan hingga membuat cincin itu jatuh ke dalam wajan masakannya.
“Kenapa dipanggil gak nyahut sih?”
Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Tubuhnya lunglai, kata-kata pecat maupun bayangan penjara telah menyembul dari otaknya. Karena terlalu panik, ia kemudian pingsan dalam dekapan majikannya.
“Apa sudah seharian ini dia belum makan ya?” Majikannya menatap wajah Warsinah heran. Sementara dari arah luar rumah, terdengar tangisan anak perempuannya.
“Ma…! Cincin mainanku ilang…!”

0 comments:

Post a Comment

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template