Wednesday, February 18, 2015

Curhatan Seorang Pecundang








Aku merasa sangat kesepian hari ini, maka aku akan sangat bahagia apabila kamu mau mendengarkan ceritaku sebentar saja. Dalam daftar temanku, mungkin hanya kamulah temanku yang selalu bisa menjadi pendengar yang baik.

Maka akan kuceritakan kepadamu sebuah kisah yang kualami tadi pagi.

Kepalaku penat. Sudah lima jam lebih aku berkutat di Laboratorium Antropologi Ragawi untuk sebuah hal yang tidak bisa kuceritakan padamu. Maka aku memutuskan keluar sejenak, mencari makanan kecil untuk mengganjal perut sekalian menghirup udara segar.

Beberapa langkah setelah keluar kampus, aku melihat seorang wanita berdiri di ujung jembatan penyeberangan. Tatapannya kosong. Tangannya merentang seperti adegan yang ada di film Titanic. 

Ah, di zaman sekarang, rupanya masih ada orang yang masih berkelakuan norak meniru gaya di film itu, batinku. Hingga kemudian entah dengan alasan apa ia menyunggingkan senyuman. Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya? Ia meloncat dari ketinggian beberapa meter, tubuhnya meluncur deras ke bawah seperti rudal yang hendak menghunjam daratan. Darahnya muncrat mengotori bajuku. Tapi belum berhenti di situ, kemudian datang dari arah sebailknya truk kontainer dengan muatan ber ton-ton melaju begitu kencang menghajarnya. Lehernya tergilas hingga kepalanya copot lalu menggelinding tepat di kakiku.

Tak berapa lama jasad itu dikerubungi banyak orang. Aku lalu pergi meninggalkan tempat kejadian, betapa sedihnya aku tidak bisa menyelamatkan wanita itu. Sepanjang jalan aku merutuki diriku sendiri yang merasa seperti seorang pecundang.

Sekitar beberapa meter aku melangkah, tepatnya di sebuah gedung rumah sakit, Aku melihat lagi seorang wanita berdiri di depan jendela. Tatapannya kosong. Tangannya merentang seperti adegan yang ada pada film Titanic. Kau pasti bisa menerka apa yang selanjutnya terjadi. Wanita itu melompat dari lantai dua puluh. Melihat hal tersebut aku segera berlari mencoba menangkap tubuhnya yang meluncur deras hendak menghunjam daratan. 

Namun aku gagal menyelamatkannya. Kepalanya tercerabut sehabis menghantam pagar rumah sakit. Dan tubuhnya terempas di trotoar jalanan hingga darahnya tercecer. Aku kembali bergidik melihat kepalanya menggelinding di antara kedua kakiku.

Tak lama kemudian jasad itu dikerubungi banyak orang, mereka membopong dan membawanya masuk kembali ke rumah sakit.

Aku berlalu dengan perasaan sangat sedih, hari ini sudah dua kali aku gagal menyelamatkan hidup dua wanita. Ingatanku kembali melayang ke beberapa tahun lalu, betapa sifat kepecundanganku telah merenggut nyawaku sendiri. Saat itu aku yang merasa putus asa karena suatu hal yang tidak bisa kuceritakan padamu, memutuskan untuk mengakhiri hidup. Aku meloncat dari lantai tiga kampus hingga tubuhku jatuh berdebum menghunjam daratan. Darah bersemburatan dari tubuhku, sedang kepalaku lepas mengglinding setelah menghantam gasebo yang ada di bawah. Sampai kemudian aku berakhir menjadi kadaver seperti yang kau ketahui sekarang.

Untukmu yang telah rela menghabiskan waktu untuk mendengarkan ceritaku aku mengucapkan terima kasih. Pesanku hanya satu untukmu: Jangan jadi pecundang!

Aku gemetar mendengar curhatan seorang pria yang duduk di depan Laboratorium Antropologi Ragawi. Aku yang ketakutan langsung menghambur menuju lantai tiga ruangan ini. Ketika hendak memijakkan kaki ke anak tangga terakhir menuju lantai tiga. Aku terpeleset, tentunya kau pasti bisa menerka apa yang terjadi selanjutnya... .

0 comments:

Post a Comment

 
Rumah Untuk Amaltea Blogger Template by Ipietoon Blogger Template